Halaman

Sabtu, 21 Juni 2014

PEMILIH EMOSIONAL LEBIH BANYAK DARI PEMILIH RASIONAL



Oleh: Dedy Rahmat



Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tinggal menghitung hari. Berbagai fenomena mewarnai pesta demokrasi yang menurut Afan Gaffar (1999), sebenarnya kita masih memasuki “transisi” menuju demokrasi. Artinya sesungguhnya kita saat ini masih berada pada wilayah peralihan pada keadaaan yang belum stabil di mana kita mencoba memasuki wilayah demokrasi. Pernyataan Gaffar 15 tahun yang lalu itu tampaknya masih relevan dengan keadaan sekarang. Mengapa demikian? Karena seperti apa yang disampaikan Samuel Huntington (1990) bahwa stabilitas di bidang politik itu berkolerasi dengan pemerataan sosio-ekonomi. Sementara ketimbangan sosio-ekonomi di Indonesia masih besar. 

Menurut Kusman Sadik (dalam situs hizbut-tahrir.or.id, diakses 21 Juni 2014), disebutkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak sesuai realita. Sadik menjelaskan, Garis kemiskinan yang digunakan BPS, adalah orang yang memiliki penghasilsan sekitar Rp 8 ribu per per hari atau Rp 240 ribu per orang per bulan. Artinya, seseorang yang pengeluarannya per hari lebih dari Rp 8 ribu, misalnya saja Rp 9 ribu, maka orang tersebut sudah dianggap tidak miskin. Tentu saja ini sangat tidak rasional, bagaimana seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya per hari secara layak dengan uang Rp 9 ribu. 

Jika kita ktitisi pendapat Sadik dan pernyataan BPS maka sepatutnya kita kritisi bahwa angka kemiskinan itu seharusnya jauh lebih besar dari sekitar 28 juta penduduk (seperti data dari BPS). Lalu apa korelasi antara garis kemiskinan dengan demokratisasi? Jelas sangat berkaitan! Karena, kemampuan ekonomi beserta pemerataannya, akan menghasilkan pemerataan di bidang pendidikan. Manusia tedidik bukan saja mampu membiayai pendidikan yang mumpuni tetapi juga mampu membiayai kebutuhan informasi. Baik informasi “manual maupun digital”. Artiya masyarakat yang cerdas menjadi salah satu jaminan lahirnya stabilitas politik yang secara otomatis juga mewujudkan partisipasi politik yang otonom (demikian kira-kira, pendapat Huntington mengenai korelasi antara pemerataan sosio-ekonomi dan hubungannya dengan partisipasi politik yang otonom dan stabilitas politik).

Partisipasi Politik Otonom
Partisipasi poltiik yang otonom adalah partisiapasi politik yang terbangun melalui rasionalitas, contohnya dalam pemilu. Di mana, masyarakat memilah dan memilih (misalnya presiden dan calon wakil presiden) melalui proses analisa secara mendalam dengan mempertimbangkan fakta dan realita yang menggambarkan sosok calon yang akan dipilih dengan dasar tingkat kecerdasan yang dimiliki calon pemilih tersebut.

Partisipasi Politik yang Dimobilisasi
Sementara “lawan” dari partisipasi politik yang otonom (contoh: dalam konteks pemilu) adalah partisipasi politik yang dimobilisasi. Yaitu,  munculnya para partisipan yang lebih mengedepankan faktor emosional (perasaan) yang cenderung bersifat subjektif. Munculnya para partisipan yang dimobilisasi ini diindikasikan terjadi karena tingkat pengetahuan yang kurang memadai (kolerasi dengan pemerataan sosio-ekonomi dan tingkat pendidikan). Mobilisasi partisipasi akan mudah dilakukan pada masyarakat yang berada pada posisi marjinal. Tetapi dalam konteks tertentu keadaan ini juga bisa mucul pada golongan menengah-atas. Karena, lembaga pendidikan belum tentu mampu menciptakan “karakter” ketika pendidikan pada lingkungan non-formal dalam aktivitas kehidupan sehari-hari justru lebih mempengaruhi pengembangan karakter seseorang. Partisipasi politik yang dimobilisasi dalam pemilu dapat terjadi sebagai efek dari:


  1. Black Campign (kampanye hitam) yaitu sebuah cara yang dilakukan melalui penyebaran informasi yang diragukan kebenarannya (bahkan tidak memenuhi unsur kebenaran sama sekali).
  2. Lemahnya analisa pemilih karena lebih melihat “kulit dibanding isi”.
  3. Permainan media massa yang melupakan hakikat netralitas, sesuai kode etik jurnalistik dan UU Pers yang mengaskan bahwa media massa bukan sekedar penyampai berita, tetapi memiliki peran sebagai kekuatan pendidikan yang sehat bagi masyarakat. Keadaan ini memunculkan subjektivitas media massa yang turut serta membangun “kesesatan” informasi, sehingga yang terjadi bukanlah pembangunan pendidikan (politik) tetapi “pembodohan” masyarakat.
  4. Partai dan elit politik melupakan hakikat proses politik yang pada akhirnya (sejatinya) berujung pada upaya mensejahterakan masyarakat, bukan sekedar pertarungan untuk memperoleh kemenangan dan menduduki “jabatan strategis”.
  5. Masyarakat ikut terjebak dalam upaya mecapai dan mempertahankan kekuasaan, dan disadari atau tidak, menggeser pemikiran “politik untuk pembangunan”, dan bahkan malah menjadi politik untuk “kemenangan” dan kekuasaan. Sehingga melahirkan perdebatan “kulit” yang sengit.
  6. Tanpa disadari masyarakat terbiasa memaklumi fenomena  bahwa politik tanpa etika dan menghalalkan segala cara adalah “lumrah” atau biasa saja. Dalam keadaan ini, maka semakin sulit “menginjeksi” masyarakat ke dalam pemikiran bahwa politik sebagai ilmu tidak pernah memaparkan teori mengenai bagaimana masyarakat atau elit untuk merebut, mempertahankan, dan menjalankan kekuasaan dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai norma, etika, dan moral sebagai sebuah kebenaran.
  7. Dll
 
Lalu akan di mana posisi kita? Apakah menjadi bagian partisipan yang otonom atau partisipan yang dimobilisasi?  Atau mungkin anda memilih “Golput” dengan dasar-dasar yang jelas? Semua akan bergantung pada anda. Karena, saya yakin anda lebih tajam dalam menjabarkan artkel yang terlalu sederhana ini.

(sumbangsih ide untuk demokrasi - - suara dari hutan untuk kota)

Peta Visitor