Halaman

Sabtu, 21 Juni 2014

PEMILIH EMOSIONAL LEBIH BANYAK DARI PEMILIH RASIONAL



Oleh: Dedy Rahmat



Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tinggal menghitung hari. Berbagai fenomena mewarnai pesta demokrasi yang menurut Afan Gaffar (1999), sebenarnya kita masih memasuki “transisi” menuju demokrasi. Artinya sesungguhnya kita saat ini masih berada pada wilayah peralihan pada keadaaan yang belum stabil di mana kita mencoba memasuki wilayah demokrasi. Pernyataan Gaffar 15 tahun yang lalu itu tampaknya masih relevan dengan keadaan sekarang. Mengapa demikian? Karena seperti apa yang disampaikan Samuel Huntington (1990) bahwa stabilitas di bidang politik itu berkolerasi dengan pemerataan sosio-ekonomi. Sementara ketimbangan sosio-ekonomi di Indonesia masih besar. 

Menurut Kusman Sadik (dalam situs hizbut-tahrir.or.id, diakses 21 Juni 2014), disebutkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak sesuai realita. Sadik menjelaskan, Garis kemiskinan yang digunakan BPS, adalah orang yang memiliki penghasilsan sekitar Rp 8 ribu per per hari atau Rp 240 ribu per orang per bulan. Artinya, seseorang yang pengeluarannya per hari lebih dari Rp 8 ribu, misalnya saja Rp 9 ribu, maka orang tersebut sudah dianggap tidak miskin. Tentu saja ini sangat tidak rasional, bagaimana seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya per hari secara layak dengan uang Rp 9 ribu. 

Jika kita ktitisi pendapat Sadik dan pernyataan BPS maka sepatutnya kita kritisi bahwa angka kemiskinan itu seharusnya jauh lebih besar dari sekitar 28 juta penduduk (seperti data dari BPS). Lalu apa korelasi antara garis kemiskinan dengan demokratisasi? Jelas sangat berkaitan! Karena, kemampuan ekonomi beserta pemerataannya, akan menghasilkan pemerataan di bidang pendidikan. Manusia tedidik bukan saja mampu membiayai pendidikan yang mumpuni tetapi juga mampu membiayai kebutuhan informasi. Baik informasi “manual maupun digital”. Artiya masyarakat yang cerdas menjadi salah satu jaminan lahirnya stabilitas politik yang secara otomatis juga mewujudkan partisipasi politik yang otonom (demikian kira-kira, pendapat Huntington mengenai korelasi antara pemerataan sosio-ekonomi dan hubungannya dengan partisipasi politik yang otonom dan stabilitas politik).

Partisipasi Politik Otonom
Partisipasi poltiik yang otonom adalah partisiapasi politik yang terbangun melalui rasionalitas, contohnya dalam pemilu. Di mana, masyarakat memilah dan memilih (misalnya presiden dan calon wakil presiden) melalui proses analisa secara mendalam dengan mempertimbangkan fakta dan realita yang menggambarkan sosok calon yang akan dipilih dengan dasar tingkat kecerdasan yang dimiliki calon pemilih tersebut.

Partisipasi Politik yang Dimobilisasi
Sementara “lawan” dari partisipasi politik yang otonom (contoh: dalam konteks pemilu) adalah partisipasi politik yang dimobilisasi. Yaitu,  munculnya para partisipan yang lebih mengedepankan faktor emosional (perasaan) yang cenderung bersifat subjektif. Munculnya para partisipan yang dimobilisasi ini diindikasikan terjadi karena tingkat pengetahuan yang kurang memadai (kolerasi dengan pemerataan sosio-ekonomi dan tingkat pendidikan). Mobilisasi partisipasi akan mudah dilakukan pada masyarakat yang berada pada posisi marjinal. Tetapi dalam konteks tertentu keadaan ini juga bisa mucul pada golongan menengah-atas. Karena, lembaga pendidikan belum tentu mampu menciptakan “karakter” ketika pendidikan pada lingkungan non-formal dalam aktivitas kehidupan sehari-hari justru lebih mempengaruhi pengembangan karakter seseorang. Partisipasi politik yang dimobilisasi dalam pemilu dapat terjadi sebagai efek dari:


  1. Black Campign (kampanye hitam) yaitu sebuah cara yang dilakukan melalui penyebaran informasi yang diragukan kebenarannya (bahkan tidak memenuhi unsur kebenaran sama sekali).
  2. Lemahnya analisa pemilih karena lebih melihat “kulit dibanding isi”.
  3. Permainan media massa yang melupakan hakikat netralitas, sesuai kode etik jurnalistik dan UU Pers yang mengaskan bahwa media massa bukan sekedar penyampai berita, tetapi memiliki peran sebagai kekuatan pendidikan yang sehat bagi masyarakat. Keadaan ini memunculkan subjektivitas media massa yang turut serta membangun “kesesatan” informasi, sehingga yang terjadi bukanlah pembangunan pendidikan (politik) tetapi “pembodohan” masyarakat.
  4. Partai dan elit politik melupakan hakikat proses politik yang pada akhirnya (sejatinya) berujung pada upaya mensejahterakan masyarakat, bukan sekedar pertarungan untuk memperoleh kemenangan dan menduduki “jabatan strategis”.
  5. Masyarakat ikut terjebak dalam upaya mecapai dan mempertahankan kekuasaan, dan disadari atau tidak, menggeser pemikiran “politik untuk pembangunan”, dan bahkan malah menjadi politik untuk “kemenangan” dan kekuasaan. Sehingga melahirkan perdebatan “kulit” yang sengit.
  6. Tanpa disadari masyarakat terbiasa memaklumi fenomena  bahwa politik tanpa etika dan menghalalkan segala cara adalah “lumrah” atau biasa saja. Dalam keadaan ini, maka semakin sulit “menginjeksi” masyarakat ke dalam pemikiran bahwa politik sebagai ilmu tidak pernah memaparkan teori mengenai bagaimana masyarakat atau elit untuk merebut, mempertahankan, dan menjalankan kekuasaan dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai norma, etika, dan moral sebagai sebuah kebenaran.
  7. Dll
 
Lalu akan di mana posisi kita? Apakah menjadi bagian partisipan yang otonom atau partisipan yang dimobilisasi?  Atau mungkin anda memilih “Golput” dengan dasar-dasar yang jelas? Semua akan bergantung pada anda. Karena, saya yakin anda lebih tajam dalam menjabarkan artkel yang terlalu sederhana ini.

(sumbangsih ide untuk demokrasi - - suara dari hutan untuk kota)

Senin, 21 April 2014

Teknologi Pemerintahan

Pertanyaan:
  1. Apakah penerapan teknologi informasi di Indonesia telah membantu mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme? 
  2. Jika seluruh penduduk dewasa Indonesia (17 tahun ke atas) dari total jumlah penduduk saat ini kurang  lebih sebanyak 250 juta jiwa menggunakan internet, baik melalui handphone, komputer, laptop, dll, dari mulai petani/buruh, hingga konglomerat, untuk keperluan sehari-hari, maka apa yang akan terjadi?

Senin, 24 Juni 2013

BBM Naik, “Sinetron” Politik?

Oleh: Dedy Rahmat

ADA satu hal yang sangat mengganjal saya, saat saya menonton siaran TV One, Senin malam (17/06/2013), yang menyiarkan liputan langsung saat DPR melakukan pembahasan RAPBN-P 2013. Sidang “anggota dewan yang terhormat itu” diantaranya membahas tentang persoalan penanganan korban Lapindo, dan bantuan-bantuan bagi rakyat miskin yang pada intinya berbicara mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).  

Paling tidak saya mengamati ada tiga kubu yang bersitegang mengenai kenaikan BBM ini, dan mereka punya alasan masing-masing. Kubu pertama, katakanlah Presiden beserta kabinet, dan Partai Demokrat yang begitu “ngotot” agar BBM harus naik dalam rangka pengentasan kemiskinan (?). Kubu kedua, Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), beserta partai-partai lainnya yang menolak rencana kenaikan BBM. Sedangka kubu ketiga, adalah Mahasiswa, kaum buruh, dan masyarakat partisipan lainnya yang berunjuk rasa menolak dengan keras rencana kenaikkan BBM dan berlangsung bukan saja di depan Gedung Senayan Jakarta, tapi juga di sejumlah daerah Nasional.

Bagaimana dengan saya sendiri? Sebut saja saya adalah bagian kecil dari kubu ketiga yang saya yakin jumlahnya sangat besar, dan jika dihitung kuantitasnya, pastilah jauh lebih besar daripada kubu yang mendukung sekalipun kubu itu juga didukung oleh sebagian masyarakat. Mengapa demikian? Di saat seperti ini siapa yang rela harga BBM naik dengan alasan “meluruskan” subsidi yang salah sasaran, mengentaskan kemiskinan, penghematan enerji, dll yang ujung-ujungnya bersiaplah kita menghadapi inflasi, saat nilai rupiah semakin tidak ada artinya karena sudah pasti harga barang-barang kebutuhan pokok dan sekunder sekalipun akan melonjak tinggi.

Sangat kasar memang jika dikatakan kenaikkan BBM yang dikompensasikan kepada “Balsem” (Bantuan langsung sementara) bagi rakyat miskin itu sebagai proyek “pembodohan”, tetapi realitannya demikian. Mengapa dikatakan pembodohan? Saya kira pembahasan bahwa “kita sebaiknya memberi kail bukan ikan” adalah pembahasan usang, tetapi fenomena “memberi ikan bukannya kail” tetap saja jadi semacam alat politik untuk “memancing di air keruh” yang selalu dipraktekkan politikus seja era Orde Baru. Kita pun tidak perlu tejebak dalam pembahasan “triliunan rupiah” yang yang akan diselamatkan dalam rangka program pengentasan kemiskinan itu, karena bagi saya angka-angka itu ibarat fatamorgana saja, yang menggiring kita kepada begitu besarnya “keuntungan” tanpa menghitung dampak sistemik yang menjurus ke “pemiskinan terpadu” sejak harga BBM naik. 

Bagi saya jelas-jelas angka-angka triliunan rupiah yang “diselamatkan” pemerintah dalam rangka penghapusan subsidi BBM alias menaikkan harga BBM itu dengan (salah satunya) dikompensaikan melalui “Balsem” adalah kebijakan yang memiskinkan rakyat kita. Bukan saja secara ekonomi tetapi juga memiskinkan cara berpikir. Bayangkan saja, katakanlah “Balsem” itu akan diberikan kepada rakyat miskin sebanyak 150 ribu rupiah. 

Bahkan lucunya, ada salah satu politikus yang mengatakan dengan uang 100 ribu saja rakyat bisa mendirikan warung kecil, saya kira kita semua tahu uang 100 ribu itu tidak mungkin mendirikan warung, jangankan di kota-kota besar, bahkan di wilayah timur Indonesia sekali pun, nilai rupiah sebesar 100 ribu itu pasti tidak ada artinya karena harga barang di sana sangat mahal. Katakanlah, 150 ribu didapat rakyat miskin tetapi kebutuhan per bulan mereka melonjak hingga ratusan persen. Apalagi bantuan itu “mendidik” rakyat kita untuk belajar menadahkan tangan bukan memberi pelajaran agar kita menyingsingkan lengan-baju untuk meningkatkan kesejahteraan kita, dan membangun bangsa, bukan sekedar “membangun politik terus-menerus”. 

Sementara rakyat yang “dibantu” bisa jadi merasa mendapat “pertolongan”, padahal mereka hanya diberi “obat penawar rasa sakit” selama 4 bulan saja (dan selama meminum “obat” itu mereka tetap sakit dan semakin sakit setelah bantuan tidak diperoleh lagi). Lalu mereka “dipaksa mempercayai” bahwa mereka sedang “ditolong” oleh pemerintah beserta partai pendukungnya (dalam rangka Pemilu 2014?).

“Pura-pura Sidang Paripurna”
Kembali kepada tayangan langsung TV One, mengenai Sidang Paripurna DPR dalam rangka membahas kenaikkan harga BBM (dengan judul pembahasan APBN-P 2013), sebenarnya saya melihat dinamika yang tidak sehat dari mulai pembahasan hingga diakhiri dengan voting dari seluruh fraksi yang pada akhirnya Pemerintah dan Partai Demokrat berhasil mengesahkan APBN-P 2013, alias menaikkan harga BBM. Sidang saat itu bagaikan dagelan politik saja, mengapa saya katakan sekasar itu? Mungkin ini karena rasa frustasi saya melihat perilaku fraksi maupun para individu yang terlibat dalam sidang tersebut yang tidak konsisten dalam menyuarakan aspirasi rakyat. 

Contohnya ada satu partai yang sebelumnya gencar menolak kenaikkan BBM, tetapi ujung-ujungnya parta tersebut  jelas-jelas mendukung kenaikkan harga BBM. Sementara saat fraksi atau anggota DPR menyampakan aspirasinya, banyak celetukan-celetukan anggota dewan yang (seharusnya) terhormat, yang seperti ingin menunjukkan kualitas mereka yang sebenarnya. Dengan candaan-candaan yang tidak lucu yang dilontarkan hampir mewakili seluruh fraksi, menyela saat yang lain sedang berbicara, dan terlihat betul jika mereka begitu “santai” tanpa beban saat melontarkan kata-kata candaan, tertawa saat yang lain sedang berbicara atau menunjukkan perilaku-perilaku nyeleneh lainnya saat voting dilakukan. 

Tidak kalah “lucu” alias “mengecewakan” bukan saja dari fraksi atau individu-individu yang mendukung kenaikkan BBM yang bersikap kurang serius. Bahkan, fraksi atau anggota dewan yang menyatakan tidak setuju pun terlihat tertawa-tawa dan saling menanggapi candaan rekan fraksi lainnya saat mereka “saling menghina dan merendahkan diri” dengan sikap mereka itu. Tentu saja apa yang terjadi di Senayan itu sangat bertolak belakang dengan demonstrasi yang terjadi di luar Gedung DPR dan daerah-daerah lainnya di Indonesia pada saat yang sama. Dimana para demonstran “berdarah-darah” dengan begitu seriusnya saat mereka mencoba menyalurkan aspirasi penolakan.

Saya melihat kesan tidak serius dalam sidang anggota DPR malam itu, dan ini bukan saja terjadi malam itu, saya sering melihat pada tayangan televisi, “gaya” seperti ini adalah bagian dari “trend” DPR masa kini. Sungguh mengecewakan! Saya hanya melihat tontonan “demokrasi seolah-olah” atau “seolah-olah demokrasi”. Ini mungkin adalah imbas dari proses rekruitmen politik dan “pendidikan politik” yang tidak sehat yang hanya melahirkan politikus-politikus yang pandai bersilat lidah ketimbang bekerja, dan disadari atau tidak, kepintaran bersilat lidah tidak selamanya bisa membuat kita terkesima, karena sewaktu-waktu silat lidah anggota dewan itu mencederai dirinya sendiri, dan memaksa kita untuk mengatakan ……. “semuanya hanya sinetron murahan!” 

*satu hal yang harus kita kritisi juga, kenapa BBM selalu naik menjelang Pemilu? Ini sudah berlangsung ejak era Orde Baru! Lalu setelah itu negara bermain-main menjadi” pahlawan kesiangan” dengan menurunkan harga BBM tak lama sebelum proses pemilihan umum dimulai. Mengapa alasan salah sasaran subsidi selalu dikedepankan sejak dulu? Tidak adakah alasan lain? Betulkah pemerintah sedang berupaya menyelamatka rakyat miskin? Atau menyelamatkan dirinya sendiri?

Kamis, 26 April 2012

Lomba PBB dan LBB Piala Gubernur Jabar dan Rektor Unla

PENUTUPAN PENDAFTARAN, SEBELUM TECHNICAL MEETING TANGGAL 28 APRIL 2012 PUKUL 13.00 WIB, DI SEKRETARIAT PANITIA, GEDUNG FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNLA, JL. KARAPITAN 116 BANDUNG.

Teknologi Pemerintahan

Deskripsikan pendapat anda mengenai tantangan dan peluang implementasi teknologi informasi dalam upaya mewujudkan good governance di Indonesia?

Sabtu, 08 Oktober 2011

Timnas Indonesia Memang Layak Kalah!


Oleh: Dedy Rahmat

Judul di atas, memang terdengar pesimistis dan terkesan tidak “membangun”, setelah kita melihat kekalahan menyakitkan Tim Nasional kita yang berlaga di pertandingan sepakbola Pra Piala Dunia 2014. Belum pulih dari kekalahan telak 3-0 dari Iran belum lama ini, kemarin kita kembali dihantam Bahrain 2-0. Kekalahan ini begitu pedih mengingat rakyat Indonesia saat ini “miskin hiburan”. Apalagi kalo kita maklumi hiburan yang menyakitkan sehari-hari adalah berita tentang korupsi pejabat-pejabat negara, kelakuan buruk artis Indonesia, gosip-gosip selebritis yang tidak membangun, dll.

Indonesia memang layak kalah! Seperti kata pelatih timnas kita Wim Rijsbergen. "Saya minta maaf atas kekalahan ini. Kami harus menerima kekalahan ini, karena para pemain mudah kehilangan bola walaupun hanya sedikit tekanan dari lawan. Intinya Indonesia memang layak kalah," tutur pelatih asal Belanda itu. Wim juga menegaskan, skuad yang dimilikinya saat ini tidak layak untuk bermain di level internasional. (http://bola.vivanews.com/, diakases Kamis, 8 September 2011).

Jika kita dengar ungkapan Wim seperti itu, bisa jadi emosi kita malah terpancing dan rasa “kebangsaan” malah muncul (sudah kalah kok malah dihina, bukan dimotivasi). Seperti yang dikatakan Firman Utina, gelandang timnas di account twitter-nya, “Saat sekarang kami bagaikan anak ayam yang ditinggal induknya. Tapi harus diingat kita adalah 1 tim yg harus 1 dan tidak bercerai berai...Seharusnya kita cari solusinya sama menir (Wim),” pungkas pemain 29 tahun itu. (http://bola.vivanews.com/, dikases Kamis, 8 September 2011).

Konon Wim bahkan memaki-maki timnas, saat jeda pertindingan antara Indonesia-Bahrain (Selasa, 6/09/2011 lalu). Seperti yang dikatakan Alferd Riedl (mantan pelatih timnas), yang menyatakan Wim menungkapkan umpatan: "f*ck you all, apabila kalian tidak bermain baik di babak kedua saya akan tendang kalian semua dari tim ini" (If you don't play better in the second half I will kick all of you out). Bukan main tapi sungguh nyata! Daripada memberi semangat kepada para pemain usai tertinggal 1-0, dia malah menghina mereka,” demikian dikatakan Riedl dalam wawancara seperti dilansir http://www.goal.com, (dikases Kamis, 8 September 2011).

Belakangan, pernyataan Wim ini dibela salah satu anggota Komite Eksekutif PSSI, Bob Hippy, seperti dikatakannya kepada wartawan (http://detik.sport.com, diakses Kamis, 8 September 2011). Menurut Bob, pelatih memaki pemain itu biasa, seperti halnya Fabio Capello kepada Frank Lampard saat menangani tim Inggris atau Jose Mourinho, pelatih kontrofersial yang kini menangani Real Madrid itu.

Saya kira, persoalan di tubuh PSSI justru lebih menonjol dibanding masalah-masalah di atas. Menurut saya, Wim bukanlah “induk harimau”. Apalagi induk harimau yang memangsa anaknya sendiri (ingat peribahasa: tidak ada induk harimau yang memangsa anaknya sendiri!). Ungkapan Wim tidak lebih sebagai ungkapan kekecewaan. Tetapi dibalik semua itu, saya berusaha husnuzon, alias positive thinking. Begitulah cara Wim dalam memberikan cambuk agar timnya lebih terpacu memenangkan pertandingan. Terkadang kata-kata menyakitkan itu tidak selamanya sekedar terlihat seperti tamparan yang pedas. Tetapi dibalik semua itu, kebalikan dari apa yang diungkapkan Wim adalah: “Bermainlah sesuai pola, konsentrasi, jangan sering kehilangan bola, patuhi instruksi yang sudah kita sepakati, kalian pasti menang”. Demikian mungkin bahasa Wim jiga “dihaluskan”.

Persolanya, saya kira mungkin Wim bukanlah karakter melankolis, yang dengan lemah lembut dan penuh “kasih sayang dan perasaan” memberikan instruksi atau arahan kepada tim. Ia karakter yang mungkin saja keras. Dalam artian ia to the point dengan apa yang ia perintahkan dan ia sampaikan.

Terlepas dari siapa yang salah, siapa yang benar. Saya kira bukan Wim dan pemain yang salah. Saya lebih melihat proses manajemen di tubuh PSSI yang punya kebiasaan buruk. Yaitu seingkali bongkar pasang pelatih. Kontrak pelatih di Indonesia, biasanya hanya 2 tahunan, itu sudah termasuk lama. Jadi PSSI lebih suka bermain dalam “program jangka pendek, ketimbang program jangka panjang”. Untuk pemain yang berlaga di Indonesia lebih parah, dikontrak rata-rata hanya setahun (atau satu musim)! Bahkan ada kesan di Indonesia, jiga sang pimpinan berganti, maka orang-orang dibawahnya juga harus berganti. Hal ini tidak saja kita temui di dunia politik, tapi juga di dunia sepakbola. Ada kesan, jika pemimpinnya baru, maka segala macam “produk lama adalah salah”. Seperti halnya PSSI yang baru saja dipimpin oleh wajah baru, dan produk lama berhasil didepak.

Pelatih atau pemain memerlukan proses untuk membentuk sebuah sinergi menjadi tim yang hebat yang siap diturunkan di segala “medan pertempuran”. Tidak mungkin semua itu disulap dalam sekejap. Pelatih dan pemain itu perlu proses dalam mempelajari segala hal. Bukan saja soal teknik bermain bola. Tapi sejarah, budaya, dan kecenderungan lain yang melekat pada sumberdaya manusia itu, memerlukan waktu yang cukup panjang. Jika kita analogikan kepada seorang sarjana saja, ia digembleng selama 5 tahun dulu sebelum dilepas untuk hidup secara mandiri. Jadi kebiasan PSSI yang selalu mempersiapkan pelatih dan tim “setengah matang” itu sebaiknya dihentikan. Berilah waktu yang lebih proporsional untuk membentuk sebuah tim tangguh.

Kembali ke soal pernyataan pemain soal pelatih (sepeti yang diungkapkan Firman Utina di atas). Saya kira, sebaiknya pemain lebih bermental baja, dan kurangi mengeluh yang tidak perlu. Seharusnya pernyataan Wim menjadi cambuk untuk membuktikan bahwa ia dan seluruh tim mampu berbuat lebih baik, atau membuktikan kepada Wim dan rakyat Indonesia bahwa “kami bisa bermain lebih baik, dan pernyataan soal buruknya tim kami tidak selamanya benar!”. Titik!

Saya terkesan dan sangat berbesar hati ketika mantan pemain nasional kita Rahmad Darmawan (yang kini aktif sebagai pelatih) pernah mengatakan, bahwa ia bersama teman-temanya saat masih aktif sebagai pemain bola mendapat sebuah pelajaran berharga ketika digembleng secara fisik dan mental oleh militer (ketika itu oleh ABRI). Ia pernah mengungkapkan bagaimana melalui didikan disiplin militer timnas dulu harus bangun subuh setiap hari, bahkan ketika puasa pun porsi latihan tetap normal seperti hari biasa. Hasilnya, kata Rahmad, tidak begitu mengecewakan, timnas menjadi sebuah tim yang solid dan tangguh. Sempat dua kali menjuarai Sea Games, dan bahkan di era 80 an sempat hampir lolos dalam putaran Pra Piala Dunia, dan menjadi pesaing ketat Korsel dan Jepang, yang kini prestasinya jauh di atas kita.

Pertanyaan dari semua pendapat di atas, mampukah Timnas Indonesia kembali bangkit? Tidak ada yang tidak mungkin. Rubahlah budaya buruk bongkar pasang pemain dan pelatih yang terlalu cepat. Dan tentu saja, PSSI harus berbenah diri, karena korupsi, kolusi, dan nepostisme itu dinilai berbagai pengamat tidak saja ada dalam kancah politik belaka. Tetapi, di dunia olahraga, khususnya di tubuh PSSI itu juga masih terjadi. Kabarnya wasit, pemain, bahkan pengurus tim sepakboila di Indoensia masih rawan KKN. Jika semua itu masih terjadi, kita harus meningkatkan kesabaran menunggu kejayaan timnas kita yang entah sampai kapan...

Peta Visitor