Halaman

Senin, 24 Juni 2013

BBM Naik, “Sinetron” Politik?

Oleh: Dedy Rahmat

ADA satu hal yang sangat mengganjal saya, saat saya menonton siaran TV One, Senin malam (17/06/2013), yang menyiarkan liputan langsung saat DPR melakukan pembahasan RAPBN-P 2013. Sidang “anggota dewan yang terhormat itu” diantaranya membahas tentang persoalan penanganan korban Lapindo, dan bantuan-bantuan bagi rakyat miskin yang pada intinya berbicara mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).  

Paling tidak saya mengamati ada tiga kubu yang bersitegang mengenai kenaikan BBM ini, dan mereka punya alasan masing-masing. Kubu pertama, katakanlah Presiden beserta kabinet, dan Partai Demokrat yang begitu “ngotot” agar BBM harus naik dalam rangka pengentasan kemiskinan (?). Kubu kedua, Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), beserta partai-partai lainnya yang menolak rencana kenaikan BBM. Sedangka kubu ketiga, adalah Mahasiswa, kaum buruh, dan masyarakat partisipan lainnya yang berunjuk rasa menolak dengan keras rencana kenaikkan BBM dan berlangsung bukan saja di depan Gedung Senayan Jakarta, tapi juga di sejumlah daerah Nasional.

Bagaimana dengan saya sendiri? Sebut saja saya adalah bagian kecil dari kubu ketiga yang saya yakin jumlahnya sangat besar, dan jika dihitung kuantitasnya, pastilah jauh lebih besar daripada kubu yang mendukung sekalipun kubu itu juga didukung oleh sebagian masyarakat. Mengapa demikian? Di saat seperti ini siapa yang rela harga BBM naik dengan alasan “meluruskan” subsidi yang salah sasaran, mengentaskan kemiskinan, penghematan enerji, dll yang ujung-ujungnya bersiaplah kita menghadapi inflasi, saat nilai rupiah semakin tidak ada artinya karena sudah pasti harga barang-barang kebutuhan pokok dan sekunder sekalipun akan melonjak tinggi.

Sangat kasar memang jika dikatakan kenaikkan BBM yang dikompensasikan kepada “Balsem” (Bantuan langsung sementara) bagi rakyat miskin itu sebagai proyek “pembodohan”, tetapi realitannya demikian. Mengapa dikatakan pembodohan? Saya kira pembahasan bahwa “kita sebaiknya memberi kail bukan ikan” adalah pembahasan usang, tetapi fenomena “memberi ikan bukannya kail” tetap saja jadi semacam alat politik untuk “memancing di air keruh” yang selalu dipraktekkan politikus seja era Orde Baru. Kita pun tidak perlu tejebak dalam pembahasan “triliunan rupiah” yang yang akan diselamatkan dalam rangka program pengentasan kemiskinan itu, karena bagi saya angka-angka itu ibarat fatamorgana saja, yang menggiring kita kepada begitu besarnya “keuntungan” tanpa menghitung dampak sistemik yang menjurus ke “pemiskinan terpadu” sejak harga BBM naik. 

Bagi saya jelas-jelas angka-angka triliunan rupiah yang “diselamatkan” pemerintah dalam rangka penghapusan subsidi BBM alias menaikkan harga BBM itu dengan (salah satunya) dikompensaikan melalui “Balsem” adalah kebijakan yang memiskinkan rakyat kita. Bukan saja secara ekonomi tetapi juga memiskinkan cara berpikir. Bayangkan saja, katakanlah “Balsem” itu akan diberikan kepada rakyat miskin sebanyak 150 ribu rupiah. 

Bahkan lucunya, ada salah satu politikus yang mengatakan dengan uang 100 ribu saja rakyat bisa mendirikan warung kecil, saya kira kita semua tahu uang 100 ribu itu tidak mungkin mendirikan warung, jangankan di kota-kota besar, bahkan di wilayah timur Indonesia sekali pun, nilai rupiah sebesar 100 ribu itu pasti tidak ada artinya karena harga barang di sana sangat mahal. Katakanlah, 150 ribu didapat rakyat miskin tetapi kebutuhan per bulan mereka melonjak hingga ratusan persen. Apalagi bantuan itu “mendidik” rakyat kita untuk belajar menadahkan tangan bukan memberi pelajaran agar kita menyingsingkan lengan-baju untuk meningkatkan kesejahteraan kita, dan membangun bangsa, bukan sekedar “membangun politik terus-menerus”. 

Sementara rakyat yang “dibantu” bisa jadi merasa mendapat “pertolongan”, padahal mereka hanya diberi “obat penawar rasa sakit” selama 4 bulan saja (dan selama meminum “obat” itu mereka tetap sakit dan semakin sakit setelah bantuan tidak diperoleh lagi). Lalu mereka “dipaksa mempercayai” bahwa mereka sedang “ditolong” oleh pemerintah beserta partai pendukungnya (dalam rangka Pemilu 2014?).

“Pura-pura Sidang Paripurna”
Kembali kepada tayangan langsung TV One, mengenai Sidang Paripurna DPR dalam rangka membahas kenaikkan harga BBM (dengan judul pembahasan APBN-P 2013), sebenarnya saya melihat dinamika yang tidak sehat dari mulai pembahasan hingga diakhiri dengan voting dari seluruh fraksi yang pada akhirnya Pemerintah dan Partai Demokrat berhasil mengesahkan APBN-P 2013, alias menaikkan harga BBM. Sidang saat itu bagaikan dagelan politik saja, mengapa saya katakan sekasar itu? Mungkin ini karena rasa frustasi saya melihat perilaku fraksi maupun para individu yang terlibat dalam sidang tersebut yang tidak konsisten dalam menyuarakan aspirasi rakyat. 

Contohnya ada satu partai yang sebelumnya gencar menolak kenaikkan BBM, tetapi ujung-ujungnya parta tersebut  jelas-jelas mendukung kenaikkan harga BBM. Sementara saat fraksi atau anggota DPR menyampakan aspirasinya, banyak celetukan-celetukan anggota dewan yang (seharusnya) terhormat, yang seperti ingin menunjukkan kualitas mereka yang sebenarnya. Dengan candaan-candaan yang tidak lucu yang dilontarkan hampir mewakili seluruh fraksi, menyela saat yang lain sedang berbicara, dan terlihat betul jika mereka begitu “santai” tanpa beban saat melontarkan kata-kata candaan, tertawa saat yang lain sedang berbicara atau menunjukkan perilaku-perilaku nyeleneh lainnya saat voting dilakukan. 

Tidak kalah “lucu” alias “mengecewakan” bukan saja dari fraksi atau individu-individu yang mendukung kenaikkan BBM yang bersikap kurang serius. Bahkan, fraksi atau anggota dewan yang menyatakan tidak setuju pun terlihat tertawa-tawa dan saling menanggapi candaan rekan fraksi lainnya saat mereka “saling menghina dan merendahkan diri” dengan sikap mereka itu. Tentu saja apa yang terjadi di Senayan itu sangat bertolak belakang dengan demonstrasi yang terjadi di luar Gedung DPR dan daerah-daerah lainnya di Indonesia pada saat yang sama. Dimana para demonstran “berdarah-darah” dengan begitu seriusnya saat mereka mencoba menyalurkan aspirasi penolakan.

Saya melihat kesan tidak serius dalam sidang anggota DPR malam itu, dan ini bukan saja terjadi malam itu, saya sering melihat pada tayangan televisi, “gaya” seperti ini adalah bagian dari “trend” DPR masa kini. Sungguh mengecewakan! Saya hanya melihat tontonan “demokrasi seolah-olah” atau “seolah-olah demokrasi”. Ini mungkin adalah imbas dari proses rekruitmen politik dan “pendidikan politik” yang tidak sehat yang hanya melahirkan politikus-politikus yang pandai bersilat lidah ketimbang bekerja, dan disadari atau tidak, kepintaran bersilat lidah tidak selamanya bisa membuat kita terkesima, karena sewaktu-waktu silat lidah anggota dewan itu mencederai dirinya sendiri, dan memaksa kita untuk mengatakan ……. “semuanya hanya sinetron murahan!” 

*satu hal yang harus kita kritisi juga, kenapa BBM selalu naik menjelang Pemilu? Ini sudah berlangsung ejak era Orde Baru! Lalu setelah itu negara bermain-main menjadi” pahlawan kesiangan” dengan menurunkan harga BBM tak lama sebelum proses pemilihan umum dimulai. Mengapa alasan salah sasaran subsidi selalu dikedepankan sejak dulu? Tidak adakah alasan lain? Betulkah pemerintah sedang berupaya menyelamatka rakyat miskin? Atau menyelamatkan dirinya sendiri?

Tidak ada komentar:

Peta Visitor