Oleh: Dedy Rahmat
ADA satu hal yang sangat
mengganjal saya, saat saya menonton siaran TV
One, Senin malam (17/06/2013), yang menyiarkan liputan langsung saat DPR
melakukan pembahasan RAPBN-P 2013. Sidang “anggota dewan yang terhormat itu” diantaranya
membahas tentang persoalan penanganan korban Lapindo, dan bantuan-bantuan bagi
rakyat miskin yang pada intinya berbicara mengenai kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM).
Paling tidak saya mengamati ada
tiga kubu yang bersitegang mengenai kenaikan BBM ini, dan mereka punya alasan
masing-masing. Kubu pertama,
katakanlah Presiden beserta kabinet, dan Partai Demokrat yang begitu “ngotot”
agar BBM harus naik dalam rangka pengentasan kemiskinan (?). Kubu kedua, Partai
Demokrasi Perjuangan (PDIP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), beserta
partai-partai lainnya yang menolak rencana kenaikan BBM. Sedangka kubu ketiga,
adalah Mahasiswa, kaum buruh, dan masyarakat partisipan lainnya yang berunjuk
rasa menolak dengan keras rencana kenaikkan BBM dan berlangsung bukan saja di
depan Gedung Senayan Jakarta, tapi juga di sejumlah daerah Nasional.
Bagaimana dengan saya sendiri?
Sebut saja saya adalah bagian kecil dari kubu ketiga yang saya yakin jumlahnya
sangat besar, dan jika dihitung kuantitasnya, pastilah jauh lebih besar
daripada kubu yang mendukung sekalipun kubu itu juga didukung oleh sebagian
masyarakat. Mengapa demikian? Di saat seperti ini siapa yang rela harga BBM
naik dengan alasan “meluruskan” subsidi yang salah sasaran, mengentaskan
kemiskinan, penghematan enerji, dll yang ujung-ujungnya bersiaplah kita
menghadapi inflasi, saat nilai rupiah semakin tidak ada artinya karena sudah
pasti harga barang-barang kebutuhan pokok dan sekunder sekalipun akan melonjak
tinggi.
Sangat kasar memang jika
dikatakan kenaikkan BBM yang dikompensasikan kepada “Balsem” (Bantuan langsung
sementara) bagi rakyat miskin itu sebagai proyek “pembodohan”, tetapi
realitannya demikian. Mengapa dikatakan pembodohan? Saya kira pembahasan bahwa
“kita sebaiknya memberi kail bukan ikan” adalah pembahasan usang, tetapi
fenomena “memberi ikan bukannya kail” tetap saja jadi semacam alat politik
untuk “memancing di air keruh” yang selalu dipraktekkan politikus seja era Orde
Baru. Kita pun tidak perlu tejebak dalam pembahasan “triliunan rupiah” yang
yang akan diselamatkan dalam rangka program pengentasan kemiskinan itu, karena
bagi saya angka-angka itu ibarat fatamorgana saja, yang menggiring kita kepada
begitu besarnya “keuntungan” tanpa menghitung dampak sistemik yang menjurus ke “pemiskinan
terpadu” sejak harga BBM naik.
Bagi saya jelas-jelas angka-angka
triliunan rupiah yang “diselamatkan” pemerintah dalam rangka penghapusan
subsidi BBM alias menaikkan harga BBM itu dengan (salah satunya) dikompensaikan
melalui “Balsem” adalah kebijakan yang memiskinkan rakyat kita. Bukan saja
secara ekonomi tetapi juga memiskinkan cara berpikir. Bayangkan saja,
katakanlah “Balsem” itu akan diberikan kepada rakyat miskin sebanyak 150 ribu
rupiah.
Bahkan lucunya, ada salah satu
politikus yang mengatakan dengan uang 100 ribu saja rakyat bisa mendirikan
warung kecil, saya kira kita semua tahu uang 100 ribu itu tidak mungkin
mendirikan warung, jangankan di kota-kota besar, bahkan di wilayah timur
Indonesia sekali pun, nilai rupiah sebesar 100 ribu itu pasti tidak ada artinya
karena harga barang di sana sangat mahal. Katakanlah, 150 ribu didapat rakyat
miskin tetapi kebutuhan per bulan mereka melonjak hingga ratusan persen.
Apalagi bantuan itu “mendidik” rakyat kita untuk belajar menadahkan tangan
bukan memberi pelajaran agar kita menyingsingkan lengan-baju untuk meningkatkan
kesejahteraan kita, dan membangun bangsa, bukan sekedar “membangun politik
terus-menerus”.
Sementara rakyat yang “dibantu”
bisa jadi merasa mendapat “pertolongan”, padahal mereka hanya diberi “obat
penawar rasa sakit” selama 4 bulan saja (dan selama meminum “obat” itu mereka
tetap sakit dan semakin sakit setelah bantuan tidak diperoleh lagi). Lalu
mereka “dipaksa mempercayai” bahwa mereka sedang “ditolong” oleh pemerintah
beserta partai pendukungnya (dalam rangka Pemilu 2014?).
“Pura-pura Sidang Paripurna”
Kembali kepada tayangan langsung TV One, mengenai Sidang Paripurna DPR
dalam rangka membahas kenaikkan harga BBM (dengan judul pembahasan APBN-P
2013), sebenarnya saya melihat dinamika yang tidak sehat dari mulai pembahasan
hingga diakhiri dengan voting dari seluruh fraksi yang pada akhirnya Pemerintah
dan Partai Demokrat berhasil mengesahkan APBN-P 2013, alias menaikkan harga
BBM. Sidang saat itu bagaikan dagelan
politik saja, mengapa saya katakan sekasar itu? Mungkin ini karena rasa
frustasi saya melihat perilaku fraksi maupun para individu yang terlibat dalam
sidang tersebut yang tidak konsisten dalam menyuarakan aspirasi rakyat.
Contohnya
ada satu partai yang sebelumnya gencar menolak kenaikkan BBM, tetapi
ujung-ujungnya parta tersebut
jelas-jelas mendukung kenaikkan harga BBM. Sementara saat fraksi atau
anggota DPR menyampakan aspirasinya, banyak celetukan-celetukan anggota dewan
yang (seharusnya) terhormat, yang seperti ingin menunjukkan kualitas mereka
yang sebenarnya. Dengan candaan-candaan yang tidak lucu yang dilontarkan hampir
mewakili seluruh fraksi, menyela saat yang lain sedang berbicara, dan terlihat
betul jika mereka begitu “santai” tanpa beban saat melontarkan kata-kata
candaan, tertawa saat yang lain sedang berbicara atau menunjukkan perilaku-perilaku
nyeleneh lainnya saat voting
dilakukan.
Tidak kalah “lucu” alias
“mengecewakan” bukan saja dari fraksi atau individu-individu yang mendukung
kenaikkan BBM yang bersikap kurang serius. Bahkan, fraksi atau anggota dewan
yang menyatakan tidak setuju pun terlihat tertawa-tawa dan saling menanggapi
candaan rekan fraksi lainnya saat mereka “saling menghina dan merendahkan diri”
dengan sikap mereka itu. Tentu saja apa yang terjadi di Senayan itu sangat
bertolak belakang dengan demonstrasi yang terjadi di luar Gedung DPR dan
daerah-daerah lainnya di Indonesia pada saat yang sama. Dimana para demonstran
“berdarah-darah” dengan begitu seriusnya saat mereka mencoba menyalurkan
aspirasi penolakan.
Saya melihat kesan tidak serius
dalam sidang anggota DPR malam itu, dan ini bukan saja terjadi malam itu, saya
sering melihat pada tayangan televisi, “gaya” seperti ini adalah bagian dari “trend”
DPR masa kini. Sungguh mengecewakan! Saya hanya melihat tontonan “demokrasi
seolah-olah” atau “seolah-olah demokrasi”. Ini mungkin adalah imbas dari proses
rekruitmen politik dan “pendidikan politik” yang tidak sehat yang hanya
melahirkan politikus-politikus yang pandai bersilat lidah ketimbang bekerja,
dan disadari atau tidak, kepintaran bersilat lidah tidak selamanya bisa membuat
kita terkesima, karena sewaktu-waktu silat lidah anggota dewan itu mencederai
dirinya sendiri, dan memaksa kita untuk mengatakan ……. “semuanya hanya sinetron
murahan!”
*satu hal yang harus
kita kritisi juga, kenapa BBM selalu naik menjelang Pemilu? Ini sudah
berlangsung ejak era Orde Baru! Lalu setelah itu negara bermain-main menjadi”
pahlawan kesiangan” dengan menurunkan harga BBM tak lama sebelum proses
pemilihan umum dimulai. Mengapa alasan salah sasaran subsidi selalu
dikedepankan sejak dulu? Tidak adakah alasan lain? Betulkah pemerintah sedang
berupaya menyelamatka rakyat miskin? Atau menyelamatkan dirinya sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar