Halaman

Rabu, 09 April 2008

UU Rahasia Negara Sangat Berbahaya!

Oleh: Dedy Rahmat

BISA dikatakan, reformasi masih berjalan di tempat, atau belum membuahkan hasil yang signifikan. Bahkan secara kasar sebagian komunitas masyarakat kita menyakini bahwa reformasi telah gagal membawa angin perubahan. Dan banyak kalangan pula yang menilai bahwa reformasi baru sebatas wacana, hanya sukses menggulingkan rezim, dll.

Akan tetapi, sebenarnya sungguh naif diri kita jika mengatakan reformasi telah gagal! Karena paling tidak reformasi telah membawa kita ke suatu wilayah transisi menuju demokratisasi di segala bidang. Di mana, kesemuanya itu akan membawa kita pada suatu tatanan kehidupan negara yang sarat transparansi dan akuntabilitas..

Memang bisa disebutkan bahwa secara global, reformasai di bidang transparansi dan akuntabilitas di segala bidang itu belum menunjukkan prestasi yang membanggakan. Karena, sistem “tebang pilih” masih mendominasi dalam setiap upaya membuka ruang publik dan menegakkan hukum yang seharusnya menunjang ke arah itu.

Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan reformasi sedikit demi sedikit telah membuka keran keterbukaan dan melepaskan belengu opini publik yang diikat dengan sangat erat pada era orde baru. Di era reformasi ini, seorang pejabat publik setingkat menteri (beserta instansinya) bisa dikritisi masayarakat. Bahkan presiden pun bisa mengalami hal sama.
Tentunya ruang publik untuk mengontrol kinerja pemerintah ini harus dilakukan dengan tidak mengenyampingkan etika dan moral demi semata-mata kepentingan seluruh komponen negara.

Budaya baru seperti inilah yang harus terus dikembangkan untuk menciptakan keterbukaan yang ideal. Di mana suatu saat nanti informasi mengenai segala kinerja pemerintah bisa diakses masyarakat. Sehingga, kontrol publik terhadap pemerintah akan lebih terbuka, dan paling tidak akan mengeleminir penyelewengan.

Saat ini, upaya ke arah itu justru dinodai oleh suatu upaya menggolkan RUU Rahasia Negara yang digagas Departemen Pertahanan. Di mana dalam RUU tersebut di antaranya disebutkan bahwa contoh rahasia negara itu meliputi rahasia di bidang persenjataan, perbekalan, beserta penemuan teknologi dan risetnya. Selain itu, disebutkan juga yang mencakup rahasia negara itu meliputi proses penyidikan di bidang hukum, ketahanan ekonomi di bidang moneter dan fiskal, bea cukai, pasar modal, dll.

Ironisnya, Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono justru berdalih, bahwa rancangan UU itu dibuat untuk melengkapi RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) yang kini mulai dibahas Komisi I DPR. Aneh memang pernyataan Juwono, karena dari namanya saja, jelas terlihat kontradiksi antarkedua RUU tersebut (terlepas dari suatu kenyataan bahwa RUU KMIP pun masih menyisakan pertanyaan. Karena, pada saat yang sama pemerintah mengusulkan agar BUMN dan BUMD tidak termasuk dalam kategori badan publik yang notabene harus membuka ruang informasi publik seluas-luasnya).

Sah-sah saja sebenarnya bila pemerintah memiliki rahasia. Setiap bangsa di mana pun bisa jadi memiliki rahasia yang memang sengaja mereka tutup era-erat untuk menjaga stabilitas nasionalnya. Namun, di Indonesia sampai saat ini tampaknya pemerintah tidak perlu menciptakan undang-undang itu. Karena, segala hal yang “rahasia” itu sifatnya tidak permanen. Tanpa undang-undang pun pemerintah bisa menutup akses informasi kepada publik, sepanjang semua itu dilakukan semata-mata untuk menjamin kondisi aman dan kondusif negara (di luar konteks melindungi kejahatan korupsi dan kolusi).

Terlalu berlebihan tampaknya jika rahasia negara dibentengi suatu undang-undang. Karena secara normatif pun, setiap lembaga yang berwenang dapat menutup informasi sepanjang dilakukan secara proporsional. Apalagi jika kita cermati, dalam RUU KMIP yang digagas Dephan itu bisa menyebabkan tiap instansi menentukan sendiri kategori yang menjadi “rahasia”. Sehingga ketika publik menginginkan suatu informasi dari pemerintah dapat dihentikan dengan alasan “itu adalah rahasia negara”.

Dan siapa lagi yang diuntungkan lewat undang-undang ini selain koruptor yang kerapkali menjalankan aksinya disertai dengan kolusi dan nepotisme (KKN) di sana-sini. Ketika KKN semakin marejalela, akan menimbulkan gejolak sosial yang justru berpotensi menciptakan instabilitas negara. Apalagi sekarang telah terjadi transformasi polapikir bangsa kita mengenai KKN, dan tindakan yang diambil massa sebagai wujud dari protes atas segala bentuk penyelewengan itu, terkadang diapresisaskan dengan tindakan yang menjurus anarkis.

Perlu juga diingat, RUU Rahasia Negara jelas bertentangan dengan amandemen UUD 1945, pasal 26, ayat f yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pertentangan antarUU ini jelas membawa suatu asumsi bahwa RUU Rahasia Negara tidak sejalan dengan UU yang lebih tinggi, bahkan kontradiktif!

Jika RUU Rahasia Negara ternyata berhasil digolkan, upaya menciptakan masyarakat madani yang transparan di era reformasi ini, justru akan terhambat. Ketika kita memulai hidup baru dengan membuka paradigma budaya keterbukaan, justru akan terjegal ketika RUU Rahasia Negara berhasil menjadi UU. Kita justru akan mundur selangkah. Pendek kata, rahasia negara tidak perlu diundang-undangkan! Karena hanya akan menimbulkan ekses negatif yang membawa kita kepada pola lama, yaitu “ketertutupan di sana-sini”.

Tulisan dibuat pada tahun 2006. Dipublikasikan di Surat Kabar Umum Pelita Indonesia dan media massa online www.pelitanews.com

Tidak ada komentar:

Peta Visitor