
JENDERAL Endriartono Sutarto, sebelum ia resmi digantikan oleh Marsekal Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI yang baru, beberapa tahun lalu, melontarkan gagasan yang cukup mengejutkan. Yaitu, idenya soal dipulihkannya hak politik TNI dalam pemilu 2009.
Pernyataan Endriatono ini, kontan menimbulkan pro-kontra berbagai kalangan. Sekalipun gagasan tersebut sebenarnya bukanlah produk baru. Karena gagasan serupa pernah muncul pada 2002 lalu. Di mana ketika itu, Depdagri pernah mengusulkan RUU Pemilu kepada DPR yang salah satu pasalnya memuat ketentuan tentang dibolehkannya TNI/Polri untuk memilih dan dipilih.
Dengan tegas Endriartono menyatakan, bahwa dipulihkannya hak politik TNI itu, tidak mencederai demokrasi (caunter atas penilaian sebagian kalangan yang menganggap sebaliknya). “Justru demokrasi tercederai kalau hak politik individu dipenjara,” ujarnya ketika itu (SKU Pelita Indonesia, edisi 326, 20-26 Feb. 2006, hal. 14).
Pernyataan Endriartono itu sebenarnya sah-sah saja. Apalagi kalau kita memaklumi bahwa demokrasi adalah milik semua rakyat (termasuk militer di dalamnya). Apalagi jika kita berpedoman pada azas demokrasi “dari-untuk-oleh rakyat”, maka pernyataan Endriartono itu tampak semakin wajar. Terlebih, keterlibatan militer dalam kontribusi suara pemilu itu bukan hal baru di Indonesia. Pada pemilu 1955, bukan suatu pemandangan aneh, ketika militer masuk ke bilik-bilik suara.
Namun demikian, semudah itukah hak politik TNI “dipulihkan?” Apakah alasan demokrasi sanggup menjawab pertanyaan ini? Tentu jawabannya tidak semudah itu. Karena banyak kalangan menyakini, bahwa selama 32 tahun berkuasanya Rezim Orde Baru, militer [ABRI (TNI-Polri) ketika itu], telah dijadikan alat kekuasaan. Sehingga, netralitas politik TNI-Polri pada masa itu dipertanyakan. Sekalipun di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto militer hanya diberikan porsi di parlemen (tidak memberikan suara dalam pemilu), namun suara mereka tetap diperhitungkan. Dan banyak kalangan menilai, militer sering terjerumus menjadi alat “pelanggeng kebijakan dan kekuasaan”.
Imbas dari kekuatan politik militer ketika itu, tentu saja merambah ke berbagai sektor. Banyak kepala-kepala daerah dijabat kalangan militer. Dari mulai tingkat gubernur hingga lurah sekalipun. Lalu jabatan-jabatan strategis di kabinet dan lembaga-lembaga pusat lainnya juga demikian. Intinya, militerisasi diciptakan untuk memperkokoh posisi politik. Ketimpangan ini pada akhirnya merangsang maraknya demonstrasi menuntut dihapuskannya konsep Dwifungsi ABRI yang dipandang menjadi pendukung militerisasi. Sehingga, pada akhirnya konsep Dwifungsi ABRI dihapus DPR.
Sekalipun alasan ini tampak cukup jauh untuk menjawab gagasan Endriatono tersebut, namun bukan tidak mungkin “dipulihkannya” hak suara TNI itu lambat laun akan mengembalikan peran militer seperti di zaman Orde Baru. Dengan kondisi ini, maka mencipakan masyarakat egaliter yang demokratis itu justru semakin jauh dari harapan.
Bukan hal yang tidak mungkin pula, dibolehkannya TNI memberikan suara dalam pemilu 2009 justru akan memancing elit negara untuk menjadikannya sebagai alat politik. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berasal dari kalangan militer (pernyataan ini bukan untuk mendiskreditkan SBY dan menyakini bahwa ia akan melakukan hal itu). Tetapi, “ikan itu tidak akan tiba-tiba menempel di kail, ketika tidak ada umpan”.
Katakanlah Presiden SBY tidak akan menjadikan militer sebagai alat politik, sekalipun TNI mempunyai hak suara dalam pemilu. Tetapi bagaimana dengan pihak-pihak berkepentingan lainnya (baik dari kalangan politik, militer, maupun sipil)? Tentu saja tidak ada jaminan untuk hal itu. Apalagi kalau kita sadari bahwa sistem komando militer merupakan alat jitu menyatukan persepsi.
Herman Finer, pengamat militer internasional dalam buku Sistem Politik Indonsia (penulis: Arbi Sanit, 1982), menegaskan, “tentara lebih terorganisir dari pada sipil melalui sentralisasi komando, hirarki, disiplin, komunikasi interen yang lancar dan esprit de corps”. Dari pernyataan Finer tersebut, Tentu saja militer membangun kekuatan itu dengan suatu rangkaian doktrinisasi yang sangat sistematis, dari mulai penyaringan calon anggota, pendidikan dasar, hingga kursus-kursus/pelatihan, maupun sekolah-sekolah militer. Demikian pula dengan sistem kepangkatan dan jabatan yang dibuat sedemikianrupa. Sehingga kesatuan tentara itu semakin terbina dan menjadi kekuatan yang kokoh.
Lalu Murray Edelman dalam Symbolic Uses by Politics (1964), menyatakan, “di samping organisasi yang solid, militer juga mempunyai nilai emosi yang sangat tinggi terhadap simbol-simbol…Simbol-simbol seperti Sang Saka, kepangkatan, kepahlawanan, dan kesatuan, juga merangsang berkembangnya keterikatan militer dengan negara. Dengan kata lain, militer lebih mampu mengembangkan keterikatan melalui simbol-simbol”.
Dari pernyataan Finer dan Edelman di atas, dihubungkan dengan gagasan hak politik TNI dalam pemilu, menyiratkan suatu indikasi, bahwa sentralistik sistem komando militer bisa jadi menjadi cikal-bakal penyatuan persepsi politik dari seorang komandan kepada bawahannya. Bahkan lobi politik dari sipil pun bisa mempermulus jalan ke arah sana. Apalagi kalau hal ini sudah dibumbui beragam kepentingan, tentu saja kondisi tersebut semakin mungkin terjadi.
Pernyataan Edelman soal nilai emosi militer terhadap simbol-simbol yang merangsang keterikatan dengan negara, secara tidak langsung menjelaskan, bahwa militer identik dengan loyalitasnya kepada simbol-simbol negara. Sementara seorang presiden jelas merupakan simbol negara. Jadi ketika militer dihadapkan pilihan antara militer/sipil dalam suatu pemilu, kecenderungan untuk memilih kalangan militer itu sangat dimungkinkan. Sekalipun hal itu merupakan hak, namun dalam konteks ini objektivitasnya bisa diragukan.
Secara internal (bagi organisasi militer), masih mending kalau suara TNI itu tidak terpecah-pecah. Sehingga, soliditas TNI masih terjamin. Jika yang terjadi sebaliknya, maka sudah barang tentu kondisi ini akan memperlemah kekuatan TNI sebagai satu kesatuan penyangga pertahanan negara. Ketika TNI terkotak-kotak, dan terjerumus dalam polemik dukung-mendukung, ini bisa menjadi biang perpecahan di tubuh TNI. Padahal soliditas TNI saat ini sangat dibutuhkan dan perlu terus dibina. Mengingat, masalah disintegrasi di beberapa daerah Nusantara saat ini, masih membutuhkan penanganan serius TNI.
Sementara kekuatan alat tempur TNI, baik jumlah personil maupun peralatan perangnya relatif masih minim. Sehingga, dengan kemampuan terbatas, TNI harus bekerja ekstra keras mempertahankan kedaulatan NKRI. Dengan kondisi ini, paling tidak soliditas TNI (dengan tidak terpecahnya kekuatan militer ke kantong-kantong politik), menjadi salah satu solusi menjaga konsentrasi TNI sebagai penjaga kadaulatan.
Artinya, saat ini TNI lebih baik terus melakukan pembenahan secara internal. Jangan lupa, saat ini TNI juga tengah berupaya mengembalikan kepercayaan masyarakat sebagai lembaga yang netral dan tidak terlibat pada masalah-maslah HAM. Pengendalian masalah disintegrasi, penyelundupan barang-barang ilegal melalui laut, pencurian kekayaan laut, konflik bernuansa sara (suku, agama, dan, ras), jauh lebih penting daripada “memulihkan” hak politik TNI. Kata-kata “memulihkan” sendiri, sebenarnya seperti menyiratkan makna bahwa TNI “tengah sakit” dan harus segera “diobati” dengan mengembalikan hak suaranya dalam pemilu. Justru dengan tidak melibatkan TNI dalam perpolitikan (untuk saat ini, hingga suatu saat yang tepat), maka TNI tengah memulihkan fungsi esensial sebagai garda terdepan dalam mempertahankan dan menyatukan NKRI.
Satu hal yang juga tidak dapat dikesampingkan, adalah minimnya kesejahteraan bagi anggota TNI. Terutama bagi yang berpangkat rendah. Hal ini bisa mengakibatkan rawanya “tarik-menarik” kepentingan. Karena itu, “pulihkanlah” kesejahteraan TNI, sebelum TNI kembali berkiprah dalam politik.
Dari ilustrasi permasalahan di atas, penulis ingin menegaskan, bahwa keterlibatan TNI dalam pemilu (untuk memberikan suara), bukan suatu kesalahan. Justru hal itu merupakan bagian dari demokrasi. Namun, masalah itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Masih perlu waktu pendewasaan politik bagi TNI. Tiga puluh dua tahun terkontaminasinya kekuatan TNI oleh sebuah kekuatan politik, menujukkan bahwa untuk mengembalikan peran TNI secara proporsional itu tidaklah mudah. Perlu tenggang waktu untuk melakukan pembenahan secara komprehensif di tubuh TNI (dengan tidak menyingkirkan sistem pembentukan soliditas yang sudah terbina hingga saat ini).
Apalagi sekarang TNI bukan saja dihadapkan dengan masalah pertahanan dan kemanan. Tetapi, pembenahan doktrinisasi pun tampaknya masih sangat diperlukan. Saat ini kita banyak menyaksikan, TNI-Polri sering terlibat bentrok fisik. Dan tak jarang mengakibatkan korban meninggal di antara keduabelah pihak. Kondisi ini mengartikan bahwa dalam konteks tertentu, TNI belum siap menerima perbedaan (tentu saja ini dialamatkan pula untuk Polri). Hal ini terjadi sebagai imbas karena kedua kekuatan tersebut sebagai lembaga atau orang-orang yang mendominasi senjata.
Dan keadaaan lebih parah, bisa saja terjadi saat TNI diadapkan pada situasi dukung-mendukung yang sarat perbedaan antarkalangan (dalam pemilu). Sekalipun pemilu presiden dan legislatif pada 2004 lalu relatif aman. Hal tersebut bukan jaminan. Karena di balik amanya pemilu 2004, potensi konflik sebenarnya tetap ada (pra maupun pasca). Dan keadaan sebaliknya bisa timbul ketika TNI memiliki hak suara. Padahal, sudah barang tentu amannya pemilu 2004 juga merupakan kontribusi yang diberikan TNI (terutama di daerah-daerah rawan konflik). Maka dari itu, untuk saat ini TNI lebih baik mengeleminir potensi konflik ketimbang menjadi bagian konflik karena terpecahnya konsentrasi mereka pada masalah politik.
Pendek kata, usulan Jendral Endriatono, agar TNI mempunyai hak suara dalam pemilu 2009 sebaiknya ditangguhkan. Hingga pembenahan internal TNI dapat menjamin ke arah tersebut. Selain itu, dengan catatan ketika TNI sudah tidak dihadapkan lagi pada prioritas konsentrasi kepada masalah kedaulatan NKRI. Atau dengan kata lain, hak politik TNI itu bisa dikembalikan, ketika TNI sudah berada dalam posisi pemeliharaan hankam (stabilitas), ketimbang tengah “berperang” untuk mewujudkan hal itu.
Di sisi lain, ada satu pertanyaan di balik gagasan Jendral Endriatono. Apakah pernyataan Edriartono ini bermuatan politis? Apalagi pernyataan itu dilontarkannya beberapa saat sebelum ia lengser sebagai Panglima. Sementara tidak lama lagi ia segera pensiun dari TNI. Mungkinkah Endriartono tengah mencari dukungan presiden untuk meraih jabatan strategis selanjutnya? Atau ini hanya semata-mata karena jiwa korps sesama militer? Mudah-mudahan hal itu dinyatakan Endriatono semata-mata sebagai upaya pendewasaan politik-demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar