Halaman

Jumat, 02 Januari 2009

Evaluasi Akhir Tahun, Rakyat Tetap Objek Penderita

Oleh: Dedy Rahmat

TAHUN 2008 berakhir sudah. Tahun yang masih penuh derita lahir batin bagi seluruh rakyat Indonesia. Tahun yang tidak menggembirakan ketika harga BBM dalam negeri terus melambung tinggi dengan alasan mengikuti harga minyak mentah dunia dan “pemerintah yang katanya terus merugi karena harus terus mensubsidi Pertamina”. Padahal kenyataanya, menurut para dedengkot ekonomi sekelas Kwik Kian Gie, Faisal Basri, dll., bahwa secara matematis Pemerintah/Pertamina sesungguhnya tidak pernah merugi, apalagi jika dimaklumi Indonesia sebagai pengekspor minyak dunia (bagaimana bisa rugi, wong kita ini bukanya membeli minyak, malah kita menjualnya ke luar negeri).

Satu hal yang perlu digarisbawahi, pemerintah tengah menjalankan praktek liberalisasi perdagangan, yang dicanangkan pihak barat, dimana hanya pemodal besar yang akan hidup, dan kaum pemodal kecil akan mati karena seleksi alam. Padahal, praktek liberalisasi jelas-jelas akan menciderai Pasal 33 UUD 45 yang menegaskan bahwa ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Dalam konteks ini tepatnya, ….”dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk memakmurkan kaum pemodal dan pihak asing!”

Tahun yang menyebalkan bagi kaum ibu-ibu yang terpaksa mengencangkan ikat pinggang untuk tidak mengkonsumsi bakso di sore hari lagi selepas melepas lelah setelah melakukan ritual suci menyelesaikan pekerjaan rumah sehari-hari, sambil menyaksikan sinetron dan gossip show yang juga sama lesunya dengan perekonomian nasional, kehilangan idealisme dan menjadi bagian “pembodohan Nasional”. Ketika alur ceritanya tidak lagi membangun semangat, namun hanya membuai masyarakat dengan kehidupan tanpa realita dan kehidupan artis yang sarat permasalahan. Perasaan kesal juga tentu dirasakan para pengemudi kendaraan bermotor yang merasakan betapa uang puluhan ribu rupiah ternyata sekarang sudah tidak seimbang dengan isi tangki yang terus seret.

Tahun 2008 begitu menyakitkan ketika pemerintah mencoba mempermainkan hati rakyat dengan menyebarkan “Bantuan Langsung Tunai/BLT” yang katanya dibagikan kepada rakyat kecil sebagai kompensasi dari naiknya BBM. Padahal, kalau kita cermati tentu saja bantuan itu tidak berarti apa-apa (Rp100 ribu per bulan), dengan kenaikan seluruh bahan pokok dan transportasi yang terus melambung. Dan lebih menyakitkan lagi, rakyat kecil kita diperlakukan tidak manusiawi ketika harus antri berjubel-jubel di siang bolong, hingga ada yang jatuh pinsan bahkan meninggal dunia, hanya demi BLT yang notabene bukan saja merendahkan harkat martabat mereka, tapi mendidik masyarakat untuk menjadi (maaf) “pengemis”, dan menunjukkan kesan pemerintah tengah melakukan praktek “politik uang” untuk menarik simpati rakyat.

Sementara pemerintah seolah jadi “pahlawan”, padahal mereka adalah pemegang skenario mengapa kejadian demi kejadian menyedihkan itu terjadi. Sedangkan uang kompensasi itu juga katanya diambil dari keuntungan kenaikan harga BBM (suatu kebijakan yang penuh tanda tanya.Untuk apa dilakukan? Jika katanya pemerintah terus merugi, tetapi keuntungannya pun kan dibagikan lagi kepada rakyat?)

Tentu saja contoh permasalahan di atas hanya sebagian contoh kecil mengapa tahun 2008 itu amat menyedihkan. Lebih menyakitkan lagi jika kita cermati bahwa sesungguhnya politisasi permasalahan dengan cara menciptakan masalah dan membuat obat agar muncul sosok pahlawan itu sesungguhnya sangat mungkin terjadi.

Pemikiran-pemikiran analisa di atas, tentu tidak dimaksudkan untuk sekedar mengkritik atau menghujat pemerintah. Tapi dengan maksud terciptanya sebuah harapan di tahun 2009 tidak akan pernah ada lagi fenomena seperti ini. Suatu pengharapan yang amat sangat ketika pemerintah menjalankan kinerja dengan hati yang terdalam, tulus iklas, tidak mengharapkan sekedar langgengnya kekuasaan, bahkan bila perlu berani berkorban runtuhnya kekuasaan demi semata-mata mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.Dan penulis pun tidak memungkiri bahwa di tahun 2008 ini banyak progress nyata ketika pemerintah berhasil mengungkap kasus demi kasus korupsi di tingkat pusat dan daerah dan menghukum para koruptornya.

Namun, itu tidak cukup mengobati hati rakyat yang terlanjur luka (meski kadang rakyat terbuai oleh munculnya kebijakan-kebijakan penolong yang sesungguhnya seperti sebuah rangkaian kebijakan sistematis: diawali dengan kebijakan merugikan lalu ditindaklanjuti kebijakan penolong).

Pada tahun 2009, bukan saja pengharapan yang sangat besar terciptanya perbaikan kebijakan dan implementasinya. Tetapi, mudah-mudahan Pemilu Presiden juga akan melahirkan sosok ideal yang dinanti-nanti. Sosok yang tidak saja mampu membuat berbunga-bunga rakyat dengan gaya simpatik, komunikasi yang membuai, tapi sosok yang menjalankan pemerintah dengan taktis dan strategis semata-mata demi mewujudkan sila ke lima dari Pancasila. Tidak berpikir sekedar mencari popularitas dan sibuk kasak-kusuk melanggengkan kekuasaan semata.

Tahun 2009, rakyat harus bisa tersenyum ketika mereka harus merogoh kocek untuk membeli kebutuhan pokok, tidak seperti sekarang, berpikir 3 kali ketika harus mengeluarkan sejumlah uang untuk berbagai keperluan.

Tahun 2009, jangan sampai terjadi penurunan harga BBM, setelah sebelumnya pemerintah menaikkan beberapa kali dengan harga yang melambung. Sementara penurunan itu tidak berpengaruh signifikan, baik bagi pengkonsumsi BBM atau terhadap harga-harga barang di pasaran yang ogah untuk turun lagi.

Tahun 2009:

JANGAN ADA LAGI KENAIKAN BBM...

JANGAN ADA LAGI ANTRIAN MINTAK TANAH...

JANGAN ADA LAGI PEMIMPIN YANG TIDAK KREDIBEL...

JANGAN ADA LAGI PEMBAGIAN BLT YANG TIDAK MENDIDIk ...

JANGAN ADA LAGI SUARA RAKYAT YANG BERPIHAK SECARA EMOSIONAL DALAM PEMILU. PEMILU 2009 HARUS MENGHASILKAN SUARA RASIONAL!!!...

JANGAN ADA LAGI SINETRON, GOSSIP SHOW, RAMALAN, DAN ACARA TELEVISI LAINNYA YANG MENJERUMUSKAN ANAK BANGSA KE JURANG KEHANCURAN!...

Semoga ini semua tidak sekedar pengharapan belaka!

Tidak ada komentar:

Peta Visitor