Halaman

Selasa, 13 Januari 2009

“Konspirasi Abadi” Bungkam Sisi Kemanusiaan di Palestina


Oleh: Dedy Rahmat

SULIT menahan emosi rasanya ketika melihat bayi kecil malang diusung oleh ayahnya, yang dengan berusaha menjaga pikiranya yang pasti sangat kacau balau, mengucapkan takbir mengumandang Allahuakbar wa lilla ilham! Sebuah kalimat yang begitu menyayat hati. Ia pasti berusaha amat keras untuk iklas atas takdir Sang Illahi yang memutuskan buah hati kesayangannya harus mati terkapar dengan darah berceceran akibat serbuan bom pesawat-pesawat tempur Israel yang tak pandang bulu di jalur Gaza sejak 27 Desember 2008 hingga dipostingnya tulisan ini.

Demikin pula dengan seorang ayah yang menangis sedu sedan ketika ia kehilangan tiga anak balitanya yang nampak sedang lucu-lucunya, penuh keriangan, namun peluru-peluru tajam Israel memang sekali lagi, tak pandang bulu! Sementara pemandangan yang sekarat tidak kalah mengerikan! Seorang bocah cilik meringis kesakitan yang amat sangat ketika sang ayah yang nampak sangat terpukul, geram, dan terpaksa menerima, membawanya ke rumah sakit. Sang bocah perempuan cantik itu, kehilangan kaki kanan, akibat serangan bom Israel. Tak ayal, pemandangan memilukan terlihat jelas ketika ia dibopong dengan kaki hilang dengan sisa-sisa daging yang nampak tak lama lagi juga akan terpisah dari kakinya.

Kekejaman tentara Israel juga terekam dalam foto hasil bidikan seroang fotografer profesional yang mengambil gambar berulang kali ketika seorang bocah, mencoba merangkul ibunya yang ditembak di bagian kepala hingga meninggal dunia. Sang bocah yang menangis meraung-raung itu tampak berusaha menolong jiwa ibunya yang sebenarnya sudah tidak bernafas. Memang tentara Israel sangat kejam! Bocah cilik itu pun ditembak berulangkali hingga darahnya nampak berceceran di tembok, dan ia pun meregang nyawa dengan tangan yang nampak tetap berusaha mememeluk sang bunda.

Aksi sadis juga menimpa dua orang wartawan di jalur Gaza, di mana salah seorangnya adalah wartawan Reuters (Fadel Shana, 24 th). Shana yang jelas-jelas beridentitas Pers, dengan jaket yang bertuliskan ”Press” dan sebuah kamera di tanganya, ditembak hingga tertelungkup. Saat sekarat, nampak Shana berusaha mengacungkan tangannya sebagai tanda menyerah dan memberitahukan bahwa ia adalah jurnalis. Namun, tentara Israel justru menembaknya berkali-kali. Bahkan terlihat (tampaknya) Shana telah tewas, namun masih dihujani tembakan! Konvensi Jenewa, atau ketentuan PBB tentang tidak dibolehkannya warga sipil dan wartawan dibunuh atau dianiaya dalam sebuah pertempuran sudah tidak berlaku lagi bagi seluruh komponen politik dan militer Israel.

Pemandangan–pemandangan seperti ini, tentu saja hanya sebagian kecil contoh sadisme dari ribuan kasus serupa akibat serbuan ganas pasukan Israel yang sudah tidak punya hati nurani lagi. Mereka tampaknya sangat terbiasa berbuat kejam demi suksesnya melumat habis tanah-tanah Palestina yang makin lama semakin sempit sejak pendudukan Israel di wilayah Palestina pada tahun 1948.

Banyak analis Timur Tengah berpendapat, sesungguhnya aksi militer Israel memang sengaja dilakukan membabi buta dengan sasaran bayi dan generasi muda Palestina, dengan harapan ”matinya” sebuah generasi. Atau paling tidak memperlambat laju pertumbuhan penduduk, agar tidak pernah tercipta kuantitas penduduk besar-besaran yang suatu saat nanti akan menjadi kekuatan yang besar pula bagi perlawanan terhadap Israel. Ada juga analis yang mengatakan lebih ekstrim, bahwa tujuan Israel sesungguhnya adalah membunuh sebanyak-banyaknya rakyat Palestina, hingga mereka terusir dari tanahnya sendiri.

Lalu bagaimana dengan Amerika? Bagaimana dengan Presiden Barrack Obama yang (anehnya) banyak dielu-elukan oleh rakyat Indonesia, diperbincangkan dan didukung agar menang dalam pilpres AS yang lalu, dengan harapan membawa perubahan (terutama dalam kebijakan militernya di dunia). Jelas Bangsa Indonesia sendiri telah dua kali melakukan kesalahan. Pertama, mereka tertipu dan lupa bahwa rakyat kita sesungguhnya tidak perlu sibuk-sibuk memikirkan presiden mana yang akan menang di Amerika (apakah ada pengaruhnya bagi kita? Bagi saya, cenderung lebih banyak kerugiannya daripada keuntungan!). Kedua, karena sejarah telah mencatat, siapapun Presiden AS, kebijakannya tetap sama. Kebijakan militernya tetap keras dan (maaf) sama brutalnya dengan kebiadaban pasukan zionis.

Coba saja lihat contohnya bagaimana kejamnya militer AS ketika ia menghujani Osaka dan Nagasaki dengan bom nuklir yang mengakibatkan jatuhnya ribuan nyawa sipil. Hal yang sama juga terjadi di Irak ketika peawat-pesawat AS membom rumah sakit dan perumahan penduduk. Sementara untuk masalah sengketa Israel dengan sejumlah negara Arab, Washington dan Yerusalem terkenal dengan ”perselingkuhan abadi”, itu sebuah kenyataan yang terjadi.

AS tak jarang memainkan peran jadi juru damai yang berat sebelah. Mereka sering ”melambatkan diri” berperan sebagai juru damai dunia yang sekaligus mengalahkan peran PBB ketika Israel telah ”selesai” menuntaskan misinya. Artinya, ketika pasukan Hamas harus melakukan serangan balik atas aksi militer yang sudah terlanjur terjadi dan membuat kerugian besar di pihak Palestina, baru AS akan menegoisasi untuk ”gencatan senjata dan aksi damai” (strategi klasik yang terus terjadi).

Cara seperti itu juga sama halnya dengan yang dilakukan Obama, ketika ditanya wartawan bagaimana sikapnya soal krisis di Palestina, dengan enteng Obama menjawab, bahwa dirinya belum bisa memberikan komentar atas konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina. Karena, ia baru bisa secara resmi berkomentar jika dirinya telah dilantik menjadi Presiden AS pada 20 Januari, seraya menegaskan dirinya ”sangat prihatin”. Pernyataan Obama ini muncul di awal Januari 2009 ketika sudah jatuh korban jiwa sebesar kurang lebih 600 orang dan 2000 orang yang mengalami luka berat. Pernyataan Obama, juga apa bedanya dengan memberikan jalan terlebih dahulu bagi Israel untuk menuntaskan misi pembunuhannya, baru ia berbicara?

Jelas sangat aneh pernyataan Obama itu. Apakah acara seremonial bisa mengalahkan sisi kemanusiaan? Bukankah pelantikan presiden itu hanya acara seremonial? Bukankah ia kini seorang presiden? Terlepas dari dia berstatus ”terpilih” atau ”terlantik”! Jika Obama betul seorang pembawa ”perubahan” sesungguhnya pertanyaan wartawan itu mudah saja dijawab. Jika benar ia prihatin, ia tinggal mengatakan ”Saya tidak setuju dengan konflik Israel-Palestina, maka saya kira perang itu harus dihentikan, bla...bla...bla...”. Setidaknya sekalipun misalnya itu bukan pernyataan resmi AS, tetapi muncul sebagai reaksi kemanusiaan Obama sebagai seorang Ayah yang juga memiliki anak yang umurnya sama dengan korban-korban nyawa yang berceceran darah di Palestina.

Segenggam harapan di Palestina sebenarnya hanyalah hati nurani. Selama kejujuran dan keiklasan menjadi dasar dalam langkah-langkah politik Amerika dan sekutunya, PBB, serta Israel itu sendiri, maka niscaya kedamaian akan tercipta di timur tengah. Hal ini akan sulit terwujud jika agenda konspirasi masih membungkam erat ide-ide kamanusiaan di sana. Wallaahu’ alam.

Tidak ada komentar:

Peta Visitor