Halaman

Jumat, 03 April 2009

”Tragedi Situ Gintung adalah Ulah Pemerintah”

Oleh: Dedy Rahmat

JEBOLNYA tanggul Situ Gintung, Banten, yang terjadi pada Jumat 27 Maret 2009 dini hari, adalah sebuah takdir yang tidak terelakkan. ”Takdir” bisa menjadi kata kunci terakhir yang memutus semua analisa mengapa semua itu terjadi ”ya namanya juga takdir Tuhan, mau diapakan lagi?”. Demikian kira-kira ”jalan pintas” untuk menghentikan saling tuding antara Pemerintah Provinsi Banten/Pemerintah Kota Tangerang Kota dan Pemerntah DKI Jakarta dengan masyarakat sekitar yang kini merana karena kehilangan ratusan keluarga dan kerabat yang meregang nyawa, ratusan korban yang sekarat dan luka-luka, serta ribuan bahkan jutaan rakyat lainnya yang merasa sangat terpukul.

Seandainya saya menjadi ”juri Pemerintah vs Masyarakat” dalam tragedi Situ Gintung, maka akan saya vonis pemerintahlah yang bersalah. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana saja, Situ Gintung dan wilayah yang mengitarinya adalah aset publik yang nyata-nyata di bawah pengelolaan pemerintah daerah setempat, dalam hal ini pihak yang berkompeten adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah DKI Jakarta atau Jakarta Selatan (yang sebelumnya menguasai Situ Gintung sebelum lepas ke Provinsi Banten yang baru saja berdiri) dan Pemerintah Provinsi Banten serta Pemerintah Kota Tangerang.

Sementara hakikat dari terselenggaranya pemerintahan adalah tidak lain untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Saya kira, pendapat ini bukan teori lagi, melainkan sebuah hukum tertinggi. Lalu kesejahteraan itu akan tercapai, di antaranya ketika fasilitas publik menjadi aset yang aman dan nyaman, contohnya Situ Gintung itu sendiri, yang notabene merupakan daerah resapan air dan salah satu potensi wisata milik pemerintah daerah.

Pernyataan di atas, semakin kuat dengan penegasan Undang-undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 5, yang menjelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.Dan yang dimaksud dengan penanggulangan bencana adalah termasuk upaya preventif (penyiapan dan pelaksanaan solusi sebelum hal buruk terjadi), tanggap darurat, dan penanganan pascabencana.

Lalu bagaimana dengan Dinas PU setempat yang menyatakan sesungguhnya di Situ Gintung itu ”tidak ada masalah” dan menuding masyarakat sebagai objek yang ”bermasalah” ketika mereka mendirikan bangunan di pinggiran situ yang secara otomatis membuat danau semakin sempit dan tidak mampu lagi menahan debit air. Saya kira pernyataan ini sah-sah saja sebagai bentuk analisa yang menegaskan salah satu sebab jebolnya tanggul. Tapi, di balik semua itu, justru hal ini semakin menyiratkan makna jika pemerintahlah yang semakin salah.

Jika pemerintah melalui Dinas PU setempat merasa bahwa pembangunan rumah di sisi danau-lah yang bermasalah, mengapa pihak kelurahan, kecamatan, hingga Dinas Bangunan setempat dengan mudahnya memberikan izin pembangunan rumah-rumah di sisi danau? Dan seandainya pun sesungguhnya pemerintah tidak memberikan izin, lalu mengapa Satpol-PP setempat diam saja, membiarkan pembangunan terjadi (sekali lagi ini seandainya saja ternyata banyak bangunan yang tidak berizin)? Dari pendapat ini, kita dapat melihat betapa kesalahan kolektif organ-organ pemerintah tambah menyeruak ke permukaan. Jadi bertambahlah keyakinan saya, jika yang patut dipermasalahkan ya siapa lagi kalu bukan pemerintah. Dari mulai pusat hingga daerah.

Pemerintah tidak berdiri sendiri, mereka adalah pembawa aspirasi dan amanah rakyat untuk menciptaklan kesejahteraan. Hirarki antara pusat dan daerah dalam konteks ini menunjukkan bahwa kesalahan kolektif telah terjadi dalam tragedi Situ Gintung. Jadi, menurut saya, organ-organ pemerintah yang bertanggung jawab dalam masalah ini di antaranya:

1. Presiden RI (sebagai penanggung jawab sekaligus pemimpin kabinet, khususnya anggota kabinet yang bertanggung jawab pada masalah infrastruktur, khususnya Menteri Pekerjaan Umum).

2. Menteri Pekerjaan Umum.

3. Pemerintah DKI Jakarta dan Pemkot Jakarta Selatan (yang sebelumnya menjadi penggung jawab Situ Gintung sebelum wilayahnya lepas ke Provinsi Banten).

4. Pemerintah Kota Tanggerang.

5. Dinas PU Tanggerang.

6. Balai Besar Ciliwung–Cisadane (yang bertugas mengelola Situ Gintung dan aliran air)

7. Pemerintah kelurahan setempat

8. Pemerintah kecamatan setempat

9. Dll.

Apalagi jika kita maklumi WALHI mengklaim bahwa pihaknya pernah memberikan peringatan kepada Pemerintah Kota Tanggerang pada tahun-tahun sebelumnya tentang kerusakan di wilayah Situ Gintung. Lalu hal ini juga diperkuat dengan pernyataan warga yang menuturkan bahwa sesungguhnya beberapa tahun sebelumnya keretakan di seputar tanggul dan wilayah Situ Gintung sudah terjadi dan mereka sudah melaporkan kepada pemerintah, namun tidak ada tanggapan. Justru pemerintah malah mengkonsentrasikan pada pembangunan daerah wisata, bukan terkonsentrasi pada renovasi terhadap kerusakan yang bisa mengakibatkan musibah fatal. Jadi, seharusnya pemerintah legowo untuk mengakui kesalahan, bukan sibuk mempertahankan diri, seraya melakukan upaya-upaya pertolongan dan pembangunan kembali Situ Gintung dan wilayah yang tersapu ”tsunami lokal” itu.

(foto satelit dari Google Earth, diakses Jumat, 3 April 2009)

Tidak ada komentar:

Peta Visitor