Halaman

Jumat, 10 Juli 2009

Kata Siapa Pemerintah Tidak Liberal-Kapitalis?


Oleh:
Dedy Rahmat

HINGGA dipostingnya tulisan ini, jika tidak ada kendala dan semua sesuai dengan fakta di lapangan, maka hampir dipastikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali menjabat sebagai RI 1 bersama Boediono sebagai wakilnya untuk memimpin negeri hingga 5 tahun ke depan. Hasil up-date terakhir quickqount Pilpres 2009dari tvone.co.id-Lembaga Survei Indonesia/LSI, diakses Jumat/10/07/09, pukul 13.00 WIB, menunjukkan Pasangan SBY-Boediono unggul dengan 60,13 persen suara, posisi kedua ditempat Mega-Prabowo 27,5 persen suara, dan terakhir pasangan JK-Wiranto 12, 53 persen suara dari seluruh provinsi.

Pasangan SBY-Boediono tetap memperoleh dukungan besar rakyat Indonesia, meski sebelumnya, selama masa kampanye sempat dihantam lewat isu neoliberal alias gaya kapitalisme yang diprediksi akan semakin mewarnai kepemipinan mereka di masa yang akan datang. Isu ini membuat tim sukses SBY-Boediono berupaya “setengah mati” untuk menyakinkan rakyat bahwa pasangan ini bukan penganut sistem neoliberal yang notabene, konsep ini telah menyebabkan hancurnya sistem ekonomi Amerika yang ditandai dengan inflasi besar-besaran dan runtuhnya perusahaan-perusahaan swasta yang menghidupi jutaan rakyat Paman Sam itu.

Isu neoliberal ini tampaknya seperti pendidikan politik kepada masyarakat. Banyak rakyat yang sebelumnya mendapat informsi yang baik soal konsep neoliberal atau bahkan tidak memahaminya, mulai berpikir dan setidaknya mengerti ”sampul-sampul” konsep neoliberalisme-kapitalisme. Selain tentu saja banyak sekali rakyat yang sudah sangat memahami efek negatif dari diimplementasikannya paham tersebut.

Isu ini menjadi komoditi penting bagi lawan-lawan politik untuk menjegal SBY melaju kembali sebagai Presiden untuk kedua kalinya. Dan tampak sekali, jika tim sukses sekaligus SBY dan Boediono sangat keberatan dengan isu ini. Pertanyaanya apakah benar mereka itu penganut paham neoliberal atau bukan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus melihat sejarah campur tangan asing dalam pembangunan di Indonesia. Sejak perundingan Meja Bundar di Den Haag, Belanda tahun 1949. Perundingan yang merupakan jawaban penolakan Dunia terhadap agresi militer Belanda yang sebelumnya tidak mengakui kemerdekaan RI yang dikukuhkan 17 Agustus 45 ini, selain memuat poin penting tentang penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Indonesia (serikat) ini, juga memuat kesepakatan tentang pengambialihan hutang Belanda kepada Indonesia. Artinya, sejak itu Indonesia sudah menanggung hutang sebesar 1,13 miliar dollar Amerika. Sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah hutang pemerintah kolonial, yang 42 persennya merupakan biaya operasi militer dalam menghadapi revolusi pemuda Indonesia.

Sejak itu pula Indonesia dipaksa untuk bergabung dengan IMF dan Word Bank sebagai lembaga yang bertugas memberikan “bantuan” luar negeri untuk pembangunan di Indonesia. Padahal, jika kita telusuri lebih dalam, IMF dan Word Bank sama sekali bukan “penolong” melainkan “penjajah” selanjutnya yang mengahanyutkan Pemerintah RI untuk mrenikmati ganasnya teori depedensi yang tengah dipraktekan negara barat (terutama AS). Di mana Indonesia dicekik dengan hutang triliunan rupiah, sekaligus dipaksa menganut paham liberalis-kapitalisme demi lancarnya ”bantuan bertajuk lintah darat” tersebut. Dimana dalam klausulnya Amerika mendikte kita dengan berbagai kebijakan yang menciderai cita-cita para pendiri bangsa yang sebelumnya mencetuskan UUD 45 yang jelas sangat bertentangan dengan paham neoliberalisme. UUD 45 berisikan konsep ekonomi kerakyatan (ditegaskan dalam Pembukaan UUD 45, pasal 23, 27 (ayat 2), 31, 33, dan 34.

Sekarang, kenyataanya pasal-pasal tentang ekonomi kerakyatan dan pemerintah yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia beserta kewajiban mengolah sumber daya alam untuk sebesar-kemakmuran rakyat, serta kewajiban pemerintah untuk campur tangan untuk kemakmuran hajat hidup orang banyak tidak dapat diimplementasikan sepenuhnya.

Karena saat ini pemerintah justru banyak memprivatisasi sektor publik yang dikuasai BUMN, menghapus subsidi BBM, memprivatisasikan dunia pendidikan dengan lahirnya UU Badan Hukum Pendikan, membantu penyebaran mini market-mini market yang memukul pasar-pasar tradisional, dan masih banyak permasalahan lainnya yang pada intinya pemerintah lepas tangan dalam urusan-urusan vital yang mempengaruhi kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia.

Konsep inilah yang secara terang-terangan merupakan implementasi paham neoliberalisme, sebuah cengkaraman dunia terhadap negara-negara berkembang, untuk terus berpredikat berkembang, tunduk pada kebijakan asing, dan selamanya jadi negara yang bergantung pada pihak barat untuk semua urusan. Baik untuk masalah sosial-politik, hukum, keamanan, sosial-budaya, dan terutama ekonomi. Bahkan paket Undang-undang ”pesanan barat” yang mempermulus tertancapnya kaki-kaki liberal asing di Indonesia terus dilahirkan DPR.

Berikut sejarah singkat implementasi paham neoliberal-kapitalisme di Indonesia:

1. 1947, Perundingan Meja Bundar di Den-Haag, Belanda. Indonesia dipaksa menanggung hutang Pemerintah Hindia Belanda.

2. 1956, AS memberikan beasiswa bagi mahasiswa Indonesia untuk menuntut ilmu di negara itu, Soemitro adalah salah satu pakar ekonomi, yang belajar ekonomi di negara pencetus gaya liberal-kapitalis, setelah itu, Soemitro menjadi anggota kabinet Soeharto yang melaksanakan konsep pembangunan ekonomi.

3. 1967, pemerintah mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing dan Perdagangan. Kedua UU ini merupakan kado spesial bagi AS (pasal 167 tentang Pengelolaan Pertambangan menegaskan tentang diizinkannya pemodal asing mengelola pertambangan di Indonesia. Lahan pertambangan kita mulai dikuasai AS, bukan oleh negara.

4. 1980-an, pemerintah mengeluarkan UU Perbankan, yang berisi liberalisasi sektor keuangan. Secara khusus tujuan liberalisasi keuangan adalah untuk meningkatkan peranan pasar dan untuk mengurangi peranan negara dalam penyelenggaraan jasa-jasa keuangan.

5. 1983, pemerintah mengeluarkan paket debirokratisasi dan deregulasi (industrialisasi) yang kembali memuluskan jalan bagi kepentingan asing.

6. 1994, Soeharto menyatakan rencana menjual BUMN/privatisasi jika Indonesia gagal mengatasi kemiskinan. Saat itu, Soeharto telah menandatangani blangko/ratifikasi dagang dengan beberapa pihak asing.

7. 2002, Megawati menjual Indosat kepada Singapura (privatiasi BUMN)

8. 2008 SBY menghapuskan subsidi BBM.

9. 2009, Pemerintah SBY memprivatisasi sektor pendidikan dengan melahirkan UUD BHP.

10. 2009, SBY berencana menjual puluhan BUMN pada tahun ini.

11. 2009, Bantuan Langsung Tunai kembali digulirkan Pemerintah SBY, dananya bersumber dari Wold Bank (hutang luar negeri).

Jika kita melihat sejarah singkat di atas, maka legitimasi penerapan paham neoliberalisme dikukukuhkan sejak era pemerintahan Orde Baru. Kebijakan ini tetap berlanjut pada masa pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY, bahkan hingga detik ini. Sejak era Soeharto, kita telah terperangkap dalam berbagai perjanjian luar negeri (bersamaan dengan MoU hutang luar negri) yang mengharuskan berlakunya pasar bebas, perdagangan bebas, liberalisasi industri keuangan dan perbankan, minimalissi peran pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa publik, serta menghapus subsidi untuk rakyat.

Dengan demikian, siapapun Presiden RI, hingga berakhirnya hutang luar negeri sekaligus selesainya kontrak perjanjian hutang-piutang beserta cengkraman pemodal asing, maka presiden dan kabinetnya tetap neoliberal. Jadi alasan apa pun yang menegaskan bahwa mereka bukan neoliberal, berdasarkan fakta di lapangan mereka justru mempraktekannya (jika memang bukan penganut kenapa melaksanakannya?). Sekarang sulit kita menemukan tokoh sekelas Soekarno yang berani berkata, “Go to hell with US aid!”. Sekaligus sulit menemukan tokoh yang nyata-nyata berani mengatakan, ”saya penganut paham liberal” atau setidaknya, ”saya pelaksana konsep liberal!”. Savety player bukan solusi menjawab masalah!

(data dari berbagai sumber-gambar dari http://www.azlanmclennan.com )

Tidak ada komentar:

Peta Visitor