Halaman

Senin, 22 Juni 2009

DPR Tidak Layak Peroleh Cincin Mas!

Oleh: Dedy Rahmat

WHERE IS YOUR SENSE OF CRISIS! Kalimat inilah yang seharusnya menjadi tolak ukur terhadap rencana pemberian kenang-kenangan berupa cincin mas dan lencana kepada 550 anggota DPR-RI yang akan habis masa jabatannya pada 2009 ini. Anggaran untuk kenangan-kenangan itu juga tidak tanggung-tanggung, hampir Rp 5 miliar! Dana sebesar itu disiapkan Sekretariat Jenderal DPR, pengadaan cincin dan lencana itu juga ditenderkan untuk umum.

Berdasarkan data tertulis yang diperoleh detikcom dari Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR, untuk sebuah cincin yang akan diterima setiap anggota dewan itu nilainya Rp 3.500.000,- Cincin tersebut berupa cincin emas berlogo DPR yang akan diberikan kepada anggota DPR periode 2004-2009.
Total dana yang disiapkan untuk pengadaan 550 cincin itu sebesar Rp 1.925.000.000,-

Selain itu Setjen DPR juga akan memberikan lencana bagi anggota DPR baru periode 2009-2014. Lencana itu ada 2 jenis. Untuk lencana ukuran besar senilai Rp 2.945.000,-. Total anggaran untuk pengadaan 560 lencana sebesar Rp 1.649.200.000,-.

Berikutnya adalah lencana ukuran kecil seharga Rp 2.500.000,- Total anggaran untuk 560 lencana sebesar Rp 1.400.000.000,-. Total anggaran untuk pengadaan cincin emas dan lencana ukuran besar dan kecil sebesar Rp 4.974.200.000,-.
(sumber:http://www.detiknews.com/read/2009/06/10/)

Bagaimana DPR RI layak mendapatkan kenang-kenangan yang (maaf) seperti berbau penghamburan dan kolusi seperti itu? Jangan sampai pula pembagian ini bermuatan politis tertentu jelang pilpres 2009! (saya tidak bermaksud menghakimi siapa-pun, jika ada yang berpendapat sama soal adanya penghamburan dan upaya kolusi, silahkan interpretasikan sendiri).

Selama ini, DPR-RI menjadi lembaga yang ”manja namun miskin produk”. Mulai dari fasilitas rumah, mobil dinas, disediakan pemerintah. Bahkan untuk hadir dalam rapat dan membuat undang-undang saja mendapat honor tambahan. Bukankah membuat undang-undang itu adalah kewajiban anggota dewan? Atau dengan kata lain adalah memang tugas mereka, konseskuensi logis sesuai pekerjaanya! Dan soal rapat-rapat juga sudah barang tentu bagian dari kinerja mereka yang sifatntya rutin? Jadi mengapa harus dibayar kalau itu memang pekerjaanya? Inilah yang menurut sejarawan Anhar Gongong dalam salah satu tayangan khusus di tvone menjadi sebuah perbedaan yang mencolok antara parlemen era 50-an dengan parlemen era sekarang.

Anhar mengatakan, parlemen di era Soekarno adalah parlemen yang punya nasionalisme tinggi, dan memang orang-orang terpilih yang menguasai masalah sosial dan politik. Tidak seperti sekarang, kata Anhar, dimana anggota DPR bisa dijabat oleh sembarang orang, bahkan selebritis pun bisa jadi anggota dewan, yang menurut Anhar; hal itu memalukan dan melecehkan kredibilitas anggota dewan! Parlemen era 50-an mengejar kursi legislatif bukan untuk mencari uang, melainkan untuk bekerja menghasilkan produk-produk penting bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Mungkin karena, masa perjuangan 45 masih melekat pada anggota parlemen ketika itu, sehingga semangat nasionalisme selalu menjadi koridor dalam kinerja mereka.

Kembali ke masalah kinerja DPR, sejak awal 2009, hutang DPR periode 2004-2009 cukup banyak! Tercatat sebanyak 129 dari total 284 RUU yang tidak rampung pembahasannya dan akan dilimpahkan pada pembahasan di tahun 2009 ini. Jumlah tersebut bahkan bisa berubah apabila kemudian kita mencermati bahwa dari 155 RUU yang disahkan pada prolegnas 2008, 60 RUU merupakan UU mengenai pemekaran wilayah, 15 RUU pengesahan Konvensi Internasional, 11 RUU terkait APBN dan 6 RUU pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (www.parlemen.net). Yang berarti sebenarnya sebanyak 92 UU tidak memerlukan pembahasan yang panjang dan merujuk pada UU lainnya yang memiliki kemiripan. (sumber:http://www.inilah.com/berita/citizen-journalism/2009/01/12).

Sementara dalam keseharian, sering sekali kita melihat kehadiran anggota dewan tidak maksimal, baik dalam pembahasan UU atau rapat-rapat lainnya yang menyangkut amanah rakyat. Tidak jarang dalam suatu pertemuan kehadiran anggota dewan hanya 30-40 persen. Baik dalam rapat fraksi, pleno, maupun paripurna. Sementara pemandangan mereka yang tertidur saat sidang sedang berlengsung masih tetap ada (ini menunjukkan tingkat keseriusan yang rendah!). Belum lagi kasus korupsi di tubuh dewan ternyata masih ada, beberapa anggota dewan sekarang dipenjara, dan sebagian mungkin menungu giliran, lalu banyak pula kasus pelecehan seksual dan perselingkuhan, dan masih banyak lagi masalah yang tidak bisa diungkapkan satu-persatu.

Berdasarkan uraian di atas, sudah barang tentu DPR saat ini tidak layak mendapatkan cincin dan lencana mas, atau apapun yang sifatnya penghamburan. Selain kinerja yang tidak maksimal, di luar sana masih banyak ribuan korban lumpur Lapindo yang terkatung-katung, tinggal di gubuk-gubuk pengungsian seadanya, masih banyak gelandangan dan pengemis di tiap lampu merah di seluruh penjuru Nusantara, dan masih banyak permasalahan lain yabng belum selesai dan seharusnya DPR-lah yang memberikan solusi! Dalam menangani suatu permasalahan, DPR sebaiknya bukan ”menjadi pemadam kebakaran” tapi harus jadi antisipator sebelum terjadi kebakaran!

(sumber gambar: nhkbp-menteng.org)

Tidak ada komentar:

Peta Visitor