Halaman

Senin, 15 Juni 2009

Prita Mulyasari Dieksekusi ”Drama” Pengadilan?


Oleh: Dedy Rahmat

ANEH! Kata ini mungkin sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana kasus hukum yang menjerat seorang Prita Mulyasari, seorang ibu muda warga Vila Melati Mas Residence Serpong, Tangerang. Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, bukan saja memutuskan ia terkena kasus pidana, tetapi juga menghukumnya secara perdata. Prita harus mengganti ”kerugian materil” Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang sebesar 261 juta rupiah.

Bermula dari surat elektronik (email) kepada sahabatnya, soal pelayanan buruk RS Omni yang ia alami, Prita jadi ”bulan-bulanan” pihak Kajari (Prita disinyalir mengalami kesalahan tindakan medis, sehingga pengobatan yang diberikan rumah sakit justru berujung efek samping pada tubuhnya. RS juga dianggap ”salah” menganalisa penyakit yang dideritanya).

Akibat email tersebut, RS Omni merasa gerah. Pihak manajemen RS Omni akhirnya berhasil membungkam Prita dengan ”mulus”, mulai dari laporan ke kepolisian hingga kejaksaan (semua lembaga hukum ini merespon “positif” laporan RS Omni), hingga berujung Prita yang sempat mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Namun, belakangan justru kasus ini jadi seperti “drama” saja. Bagaimana tidak, setelah didesak Dewan Pers, vonis terhadap Prita malah jadi tahanan rumah, belakangan malah status tahanan rumah pun dicabut.

Jaksa Agung Hendarman Suparndji, kepada wartawan, seperti dikutip www.detiknews.com (berita edisi 04/06), mengatakan bahwa dalam kasus yang menimpa Prita, ternyata terdapat ketidakprofesionalan jaksa. Hendarman menjelaskan, ketidakprofesionalan tersebut bermula saat jaksa melihat ada kekurangan pasal dalam berkas acara yang diajukan polisi ke Kejati Banten. Melihat hal itu, kejaksaan meminta polisi menambahkan pasal 27 jo pasal 45 UU no 11 tahun 2008 menyangkut ITE. Berikut isi kedua pasal tersebut:

Pasal 27 (Bab VII, Perbuatan yang Dilarang)

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

....

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

....

Pasal 45 (Bab XI Ketentuan Pidana)

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Ada beberapa alasan mengapa Prita sebenarnya tidak bisa dijerat oleh pasal-pasal di atas. Email Prita sama sekali tidak melanggar kesusilaan dan menghina/mencemarkan nama baik sesuai dengan pasal 27 ayat 1 dan 3 tersebut. Karena, yang ia sampaikan adalah keluhan, yang disampaikan secara terbatas kepada teman-temanya. Justru sikap Prita itu dilindungi oleh UU Perlindungan Konsumen, UU Hak Asasi Manusia dan bahkan konsitusi negara (UUD 45) yang menjamin kebebasan mengemukakan pendapat bagi seluruh warga negara. Jadi, bagaimana Prita bisa dijerat UU ITE karena, dalam kenyataannya dalam konteks ini, undang-undang yang menjerat Prita justru bertabrakan dengan undang-undang yang lain, malah dengan ketentuan yang lebih tinggi; konstitusi!

Terkait masalah ini, penulis banyak menangkap suara masyarakat yang justru mempertanyakan bagaimana profesionalitas lembaga hukum yang mengurus kasus Prita. Dari mulai kepolisian hingga kejaksaan. Bahkan teman-teman wartawan mulai melakukan investigasi, untuk mencari informasi apakah dalam kasus ini ada dugaan suap-menyuap, sehingga Prita dijerat bisa dijerat hukum secara prosedural.

Menurut hemat penulis, kesalahan prosedural atau ketidakprofesionalan jaksa seperti yang diungkapkan Hendarman Supandji, dalam kontesk ini bukan masalah yang esensial. Poin penting masalah selanjutnya adalah, harus ada pembuktian bagaimana proses hukum yang telah terjadi? Mudah-mudahan, tidak ada tarik-menarik kepentingan yang diiringi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam kasus tersebut. Karena, jika ini terjadi, justru lembaga hukum akan terjerat UU tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Lalu bagaimana dengan pihak manajemen RS Omni Internasional, seandainya analisa terakhir ini yang terjadi? Mereka juga sama-sama terjerat UU, apakah itu UU Perlindungan Konsumen, atau UU HAM, wallahu alam ...

(sumber gambar: www.edge-online.com)

Tidak ada komentar:

Peta Visitor