Halaman

Sabtu, 15 Agustus 2009

Permohonan Maaf untuk Sang Penenteng Senjata (2)


dulu, orang-orang menenteng senjata … tak peduli apakah itu sepotong bambu atau alat tempur alakadarnya … meninggalkan anak istri, berpindah dari satu tempat ke tempat lain … melewati gunung, sungai, lautan, tebing nan terjal, berliku-liku… terseok-seok menahan lapar dan dahaga

dulu, terbiasa waspada, karena musuh ada di mana-mana … dor…dor…dor…bum!... sesekali dentuman senjata terdengar … ketika mereka lupa, bahwa istri dan kekasih setia … menunggu di desa nun jauh di sana … ketika mereka lupa, bahwa mereka lapar dan haus

karena, saat suara senjata menyalak-nyalak … hanya satu yang mereka ingat, kalahkan musuh! hingga mereka dapat kabarkan … pada teman-teman di kampung, “kita sudah merdeka bung”… ketika itu, Allah memang bersama orang-orang yang berani

dulu, banyak bayi lahir di medan perang yang bergelora…yang memporakporandakan desa, dengan darah berlimpah ketika sang koloni memperkosa hak kita dengan membabibuta … ketika sanak keluarga menunggu resah, hasil jerih payah sang pejuang

darah yang terbuang, membasahi ribuan desa dan kota …ternyata tidak sia-sia, karena akhirnya sang pejuang … mencapai cita-cita, memberi kabar kepada sanak keluarga dan tetangga, “kita sudah merdeka bung”

tak terasa, kabar baik itu bertahan hingga kini … hingga anak cucu dapat bebas menikmati jerih payah … mereka yang memonopoli senjata itu

namun, kami sekarang malu tiada terkira … karena mengisi pembangunan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme di mana-mana … padahal, dulu sang penenteng senjata tidak pernah mengajarkan itu … yang mereka ajarkan, hanya satu …jadilah kaum militan yang jujur … yang sama-sama bekerja keras tuk raih pembebasan negeri

karena itu, kami ingin sampaikan terima kasih … untuk para penenteng senjata yang polos itu … sekaligus kami memohon maaf yang tak terhingga … karena kami telah menodai perjuanganmu … dengan pekerjaan sia-sia ketika pembangunan dan politik kami biarkan penuh sampah berserakan

semoga Allah segera menerpa jiwa kita … dengan ruh-ruh para penenteng senjata itu yang militan dan polos … karena kami rindu suasana itu …

Oleh: Dedy Rahmat

Goresan Pena untuk Hari Kemerdekaan

17-Agustus 2009

(sumber gambar: swaramuslim.com)

7 komentar:

Unknown mengatakan...

setuju dengan pendapat anda ini....semoga dikemudian hari..korup cs ini benar2 hilang..

lina@happy family mengatakan...

Artikel yang sangat bermakna. Sebagai penghargaan terhadap pengorbanan mereka, kita sebenarnya harus lebih bekerja keras untuk memerdekakan negeri ini dari kemiskinan dan kebodohan...

Shin-kun mengatakan...

Artikelnya daleeeemmmm :D, sebenernya masih banyak potensi tak tergali di negara kita ini, tapi sebelum itu, merdekakan dulu dari kebodohan dan kemiskinan...

vienny mengatakan...

Ironis saat peringatan kemerdekaan Indonesia diisi dengan panggung-panggung keriaan sementara para pejuang jauh dari pikiran untuk mencari hiburan di tengah peperangan dan keluarga mereka berlutut berdoa untuk keselamatannya. Sekali pun pejuang mereka tidak pulang dengan selamat, mereka masih berdoa agar perjuangan mereka tidak sia-sia dan Indonesia dapat merdeka. Orang-orang yang telah menerima anugerah dari doa-doa mereka sekarang malah menyerahkan kembali Indonesia ke tangan asing dan membiarkan mereka menjajah lagi Indonesia. Indonesia masih berjuang sekarang, untuk kemerdekaannya setelah 64 tahun Proklamasi.

Miawruu mengatakan...

wah...bung dedy berbakat jadi sastrawan neh. its beautiful article bro

Rizky-Vsp mengatakan...

wah, keren post nya,..mantep mantep...
nice post mas..

Arfar mengatakan...

Kadang tanpa kita sadari kita sudah melenceng dari niat para pejuang mendirikan republik ini, seharusnya kita malu kepada mereka...

Peta Visitor