- Black Campign (kampanye hitam) yaitu sebuah cara yang dilakukan melalui penyebaran informasi yang diragukan kebenarannya (bahkan tidak memenuhi unsur kebenaran sama sekali).
- Lemahnya analisa pemilih karena lebih melihat “kulit dibanding isi”.
- Permainan media massa yang melupakan hakikat netralitas, sesuai kode etik jurnalistik dan UU Pers yang mengaskan bahwa media massa bukan sekedar penyampai berita, tetapi memiliki peran sebagai kekuatan pendidikan yang sehat bagi masyarakat. Keadaan ini memunculkan subjektivitas media massa yang turut serta membangun “kesesatan” informasi, sehingga yang terjadi bukanlah pembangunan pendidikan (politik) tetapi “pembodohan” masyarakat.
- Partai dan elit politik melupakan hakikat proses politik yang pada akhirnya (sejatinya) berujung pada upaya mensejahterakan masyarakat, bukan sekedar pertarungan untuk memperoleh kemenangan dan menduduki “jabatan strategis”.
- Masyarakat ikut terjebak dalam upaya mecapai dan mempertahankan kekuasaan, dan disadari atau tidak, menggeser pemikiran “politik untuk pembangunan”, dan bahkan malah menjadi politik untuk “kemenangan” dan kekuasaan. Sehingga melahirkan perdebatan “kulit” yang sengit.
- Tanpa disadari masyarakat terbiasa memaklumi fenomena bahwa politik tanpa etika dan menghalalkan segala cara adalah “lumrah” atau biasa saja. Dalam keadaan ini, maka semakin sulit “menginjeksi” masyarakat ke dalam pemikiran bahwa politik sebagai ilmu tidak pernah memaparkan teori mengenai bagaimana masyarakat atau elit untuk merebut, mempertahankan, dan menjalankan kekuasaan dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai norma, etika, dan moral sebagai sebuah kebenaran.
- Dll
Sabtu, 21 Juni 2014
PEMILIH EMOSIONAL LEBIH BANYAK DARI PEMILIH RASIONAL
Senin, 21 April 2014
Teknologi Pemerintahan
- Apakah penerapan teknologi informasi di Indonesia telah membantu mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme?
- Jika seluruh penduduk dewasa Indonesia (17 tahun ke atas) dari total jumlah penduduk saat ini kurang lebih sebanyak 250 juta jiwa menggunakan internet, baik melalui handphone, komputer, laptop, dll, dari mulai petani/buruh, hingga konglomerat, untuk keperluan sehari-hari, maka apa yang akan terjadi?
Senin, 24 Juni 2013
BBM Naik, “Sinetron” Politik?
Kamis, 26 April 2012
Lomba PBB dan LBB Piala Gubernur Jabar dan Rektor Unla
Teknologi Pemerintahan
Sabtu, 08 Oktober 2011
Timnas Indonesia Memang Layak Kalah!
Oleh: Dedy Rahmat
Judul di atas, memang terdengar pesimistis dan terkesan tidak “membangun”, setelah kita melihat kekalahan menyakitkan Tim Nasional kita yang berlaga di pertandingan sepakbola Pra Piala Dunia 2014. Belum pulih dari kekalahan telak 3-0 dari Iran belum lama ini, kemarin kita kembali dihantam Bahrain 2-0. Kekalahan ini begitu pedih mengingat rakyat Indonesia saat ini “miskin hiburan”. Apalagi kalo kita maklumi hiburan yang menyakitkan sehari-hari adalah berita tentang korupsi pejabat-pejabat negara, kelakuan buruk artis Indonesia, gosip-gosip selebritis yang tidak membangun, dll.
Indonesia memang layak kalah! Seperti kata pelatih timnas kita Wim Rijsbergen. "Saya minta maaf atas kekalahan ini. Kami harus menerima kekalahan ini, karena para pemain mudah kehilangan bola walaupun hanya sedikit tekanan dari lawan. Intinya Indonesia memang layak kalah," tutur pelatih asal Belanda itu. Wim juga menegaskan, skuad yang dimilikinya saat ini tidak layak untuk bermain di level internasional. (http://bola.vivanews.com/, diakases Kamis, 8 September 2011).
Jika kita dengar ungkapan Wim seperti itu, bisa jadi emosi kita malah terpancing dan rasa “kebangsaan” malah muncul (sudah kalah kok malah dihina, bukan dimotivasi). Seperti yang dikatakan Firman Utina, gelandang timnas di account twitter-nya, “Saat sekarang kami bagaikan anak ayam yang ditinggal induknya. Tapi harus diingat kita adalah 1 tim yg harus 1 dan tidak bercerai berai...Seharusnya kita cari solusinya sama menir (Wim),” pungkas pemain 29 tahun itu. (http://bola.vivanews.com/, dikases Kamis, 8 September 2011).
Konon Wim bahkan memaki-maki timnas, saat jeda pertindingan antara Indonesia-Bahrain (Selasa, 6/09/2011 lalu). Seperti yang dikatakan Alferd Riedl (mantan pelatih timnas), yang menyatakan Wim menungkapkan umpatan: "f*ck you all, apabila kalian tidak bermain baik di babak kedua saya akan tendang kalian semua dari tim ini" (If you don't play better in the second half I will kick all of you out). Bukan main tapi sungguh nyata! Daripada memberi semangat kepada para pemain usai tertinggal 1-0, dia malah menghina mereka,” demikian dikatakan Riedl dalam wawancara seperti dilansir http://www.goal.com, (dikases Kamis, 8 September 2011).
Belakangan, pernyataan Wim ini dibela salah satu anggota Komite Eksekutif PSSI, Bob Hippy, seperti dikatakannya kepada wartawan (http://detik.sport.com, diakses Kamis, 8 September 2011). Menurut Bob, pelatih memaki pemain itu biasa, seperti halnya Fabio Capello kepada Frank Lampard saat menangani tim Inggris atau Jose Mourinho, pelatih kontrofersial yang kini menangani Real Madrid itu.
Saya kira, persoalan di tubuh PSSI justru lebih menonjol dibanding masalah-masalah di atas. Menurut saya, Wim bukanlah “induk harimau”. Apalagi induk harimau yang memangsa anaknya sendiri (ingat peribahasa: tidak ada induk harimau yang memangsa anaknya sendiri!). Ungkapan Wim tidak lebih sebagai ungkapan kekecewaan. Tetapi dibalik semua itu, saya berusaha husnuzon, alias positive thinking. Begitulah cara Wim dalam memberikan cambuk agar timnya lebih terpacu memenangkan pertandingan. Terkadang kata-kata menyakitkan itu tidak selamanya sekedar terlihat seperti tamparan yang pedas. Tetapi dibalik semua itu, kebalikan dari apa yang diungkapkan Wim adalah: “Bermainlah sesuai pola, konsentrasi, jangan sering kehilangan bola, patuhi instruksi yang sudah kita sepakati, kalian pasti menang”. Demikian mungkin bahasa Wim jiga “dihaluskan”.
Persolanya, saya kira mungkin Wim bukanlah karakter melankolis, yang dengan lemah lembut dan penuh “kasih sayang dan perasaan” memberikan instruksi atau arahan kepada tim. Ia karakter yang mungkin saja keras. Dalam artian ia to the point dengan apa yang ia perintahkan dan ia sampaikan.
Terlepas dari siapa yang salah, siapa yang benar. Saya kira bukan Wim dan pemain yang salah. Saya lebih melihat proses manajemen di tubuh PSSI yang punya kebiasaan buruk. Yaitu seingkali bongkar pasang pelatih. Kontrak pelatih di Indonesia, biasanya hanya 2 tahunan, itu sudah termasuk lama. Jadi PSSI lebih suka bermain dalam “program jangka pendek, ketimbang program jangka panjang”. Untuk pemain yang berlaga di Indonesia lebih parah, dikontrak rata-rata hanya setahun (atau satu musim)! Bahkan ada kesan di Indonesia, jiga sang pimpinan berganti, maka orang-orang dibawahnya juga harus berganti. Hal ini tidak saja kita temui di dunia politik, tapi juga di dunia sepakbola. Ada kesan, jika pemimpinnya baru, maka segala macam “produk lama adalah salah”. Seperti halnya PSSI yang baru saja dipimpin oleh wajah baru, dan produk lama berhasil didepak.
Pelatih atau pemain memerlukan proses untuk membentuk sebuah sinergi menjadi tim yang hebat yang siap diturunkan di segala “medan pertempuran”. Tidak mungkin semua itu disulap dalam sekejap. Pelatih dan pemain itu perlu proses dalam mempelajari segala hal. Bukan saja soal teknik bermain bola. Tapi sejarah, budaya, dan kecenderungan lain yang melekat pada sumberdaya manusia itu, memerlukan waktu yang cukup panjang. Jika kita analogikan kepada seorang sarjana saja, ia digembleng selama 5 tahun dulu sebelum dilepas untuk hidup secara mandiri. Jadi kebiasan PSSI yang selalu mempersiapkan pelatih dan tim “setengah matang” itu sebaiknya dihentikan. Berilah waktu yang lebih proporsional untuk membentuk sebuah tim tangguh.
Kembali ke soal pernyataan pemain soal pelatih (sepeti yang diungkapkan Firman Utina di atas). Saya kira, sebaiknya pemain lebih bermental baja, dan kurangi mengeluh yang tidak perlu. Seharusnya pernyataan Wim menjadi cambuk untuk membuktikan bahwa ia dan seluruh tim mampu berbuat lebih baik, atau membuktikan kepada Wim dan rakyat Indonesia bahwa “kami bisa bermain lebih baik, dan pernyataan soal buruknya tim kami tidak selamanya benar!”. Titik!
Saya terkesan dan sangat berbesar hati ketika mantan pemain nasional kita Rahmad Darmawan (yang kini aktif sebagai pelatih) pernah mengatakan, bahwa ia bersama teman-temanya saat masih aktif sebagai pemain bola mendapat sebuah pelajaran berharga ketika digembleng secara fisik dan mental oleh militer (ketika itu oleh ABRI). Ia pernah mengungkapkan bagaimana melalui didikan disiplin militer timnas dulu harus bangun subuh setiap hari, bahkan ketika puasa pun porsi latihan tetap normal seperti hari biasa. Hasilnya, kata Rahmad, tidak begitu mengecewakan, timnas menjadi sebuah tim yang solid dan tangguh. Sempat dua kali menjuarai Sea Games, dan bahkan di era 80 an sempat hampir lolos dalam putaran Pra Piala Dunia, dan menjadi pesaing ketat Korsel dan Jepang, yang kini prestasinya jauh di atas kita.
Pertanyaan dari semua pendapat di atas, mampukah Timnas Indonesia kembali bangkit? Tidak ada yang tidak mungkin. Rubahlah budaya buruk bongkar pasang pemain dan pelatih yang terlalu cepat. Dan tentu saja, PSSI harus berbenah diri, karena korupsi, kolusi, dan nepostisme itu dinilai berbagai pengamat tidak saja ada dalam kancah politik belaka. Tetapi, di dunia olahraga, khususnya di tubuh PSSI itu juga masih terjadi. Kabarnya wasit, pemain, bahkan pengurus tim sepakboila di Indoensia masih rawan KKN. Jika semua itu masih terjadi, kita harus meningkatkan kesabaran menunggu kejayaan timnas kita yang entah sampai kapan...