Oleh: Dedy Rahmat
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tinggal
menghitung hari. Berbagai fenomena mewarnai pesta demokrasi yang menurut Afan Gaffar (1999), sebenarnya kita
masih memasuki “transisi” menuju demokrasi. Artinya sesungguhnya kita saat ini
masih berada pada wilayah peralihan pada keadaaan yang belum stabil di mana
kita mencoba memasuki wilayah demokrasi. Pernyataan Gaffar 15 tahun yang lalu
itu tampaknya masih relevan dengan keadaan sekarang. Mengapa demikian? Karena seperti
apa yang disampaikan Samuel Huntington
(1990) bahwa stabilitas di bidang politik itu berkolerasi dengan pemerataan
sosio-ekonomi. Sementara ketimbangan sosio-ekonomi di Indonesia masih besar.
Menurut Kusman Sadik (dalam situs
hizbut-tahrir.or.id, diakses 21 Juni 2014),
disebutkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) tidak sesuai realita. Sadik menjelaskan, Garis
kemiskinan yang digunakan BPS, adalah orang yang memiliki penghasilsan sekitar
Rp 8 ribu per per hari atau Rp 240 ribu per orang per bulan. Artinya, seseorang
yang pengeluarannya per hari lebih dari Rp 8 ribu, misalnya saja Rp 9 ribu,
maka orang tersebut sudah dianggap tidak miskin. Tentu saja ini sangat tidak
rasional, bagaimana seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya per hari secara
layak dengan uang Rp 9 ribu.
Jika kita ktitisi pendapat Sadik dan pernyataan BPS maka
sepatutnya kita kritisi bahwa angka kemiskinan itu seharusnya jauh lebih besar
dari sekitar 28 juta penduduk (seperti data dari BPS). Lalu apa korelasi antara
garis kemiskinan dengan demokratisasi? Jelas sangat berkaitan! Karena,
kemampuan ekonomi beserta pemerataannya, akan menghasilkan pemerataan di bidang
pendidikan. Manusia tedidik bukan saja mampu membiayai pendidikan yang mumpuni tetapi juga mampu membiayai
kebutuhan informasi. Baik informasi “manual maupun digital”. Artiya masyarakat
yang cerdas menjadi salah satu jaminan lahirnya stabilitas politik yang secara
otomatis juga mewujudkan partisipasi politik yang otonom (demikian kira-kira, pendapat
Huntington mengenai korelasi antara pemerataan sosio-ekonomi dan hubungannya
dengan partisipasi politik yang otonom dan stabilitas politik).
Partisipasi Politik Otonom
Partisipasi poltiik yang otonom adalah partisiapasi politik
yang terbangun melalui rasionalitas, contohnya dalam pemilu. Di mana,
masyarakat memilah dan memilih (misalnya presiden dan calon wakil presiden)
melalui proses analisa secara mendalam dengan mempertimbangkan fakta dan
realita yang menggambarkan sosok calon yang akan dipilih dengan dasar tingkat
kecerdasan yang dimiliki calon pemilih tersebut.
Partisipasi Politik
yang Dimobilisasi
Sementara “lawan” dari partisipasi politik yang otonom (contoh:
dalam konteks pemilu) adalah partisipasi politik yang dimobilisasi. Yaitu, munculnya para partisipan yang lebih
mengedepankan faktor emosional (perasaan) yang cenderung bersifat subjektif.
Munculnya para partisipan yang dimobilisasi ini diindikasikan terjadi karena
tingkat pengetahuan yang kurang memadai (kolerasi dengan pemerataan
sosio-ekonomi dan tingkat pendidikan). Mobilisasi partisipasi akan mudah
dilakukan pada masyarakat yang berada pada posisi marjinal. Tetapi dalam
konteks tertentu keadaan ini juga bisa mucul pada golongan menengah-atas.
Karena, lembaga pendidikan belum tentu mampu menciptakan “karakter” ketika
pendidikan pada lingkungan non-formal dalam aktivitas kehidupan sehari-hari justru
lebih mempengaruhi pengembangan karakter seseorang. Partisipasi politik yang
dimobilisasi dalam pemilu dapat terjadi sebagai efek dari:
- Black Campign (kampanye hitam) yaitu sebuah cara yang dilakukan melalui penyebaran informasi yang diragukan kebenarannya (bahkan tidak memenuhi unsur kebenaran sama sekali).
- Lemahnya analisa pemilih karena lebih melihat “kulit dibanding isi”.
- Permainan media massa yang melupakan hakikat netralitas, sesuai kode etik jurnalistik dan UU Pers yang mengaskan bahwa media massa bukan sekedar penyampai berita, tetapi memiliki peran sebagai kekuatan pendidikan yang sehat bagi masyarakat. Keadaan ini memunculkan subjektivitas media massa yang turut serta membangun “kesesatan” informasi, sehingga yang terjadi bukanlah pembangunan pendidikan (politik) tetapi “pembodohan” masyarakat.
- Partai dan elit politik melupakan hakikat proses politik yang pada akhirnya (sejatinya) berujung pada upaya mensejahterakan masyarakat, bukan sekedar pertarungan untuk memperoleh kemenangan dan menduduki “jabatan strategis”.
- Masyarakat ikut terjebak dalam upaya mecapai dan mempertahankan kekuasaan, dan disadari atau tidak, menggeser pemikiran “politik untuk pembangunan”, dan bahkan malah menjadi politik untuk “kemenangan” dan kekuasaan. Sehingga melahirkan perdebatan “kulit” yang sengit.
- Tanpa disadari masyarakat terbiasa memaklumi fenomena bahwa politik tanpa etika dan menghalalkan segala cara adalah “lumrah” atau biasa saja. Dalam keadaan ini, maka semakin sulit “menginjeksi” masyarakat ke dalam pemikiran bahwa politik sebagai ilmu tidak pernah memaparkan teori mengenai bagaimana masyarakat atau elit untuk merebut, mempertahankan, dan menjalankan kekuasaan dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai norma, etika, dan moral sebagai sebuah kebenaran.
- Dll
Lalu akan di mana posisi kita? Apakah menjadi bagian
partisipan yang otonom atau partisipan yang dimobilisasi? Atau mungkin anda memilih “Golput” dengan
dasar-dasar yang jelas? Semua akan bergantung pada anda. Karena, saya yakin anda
lebih tajam dalam menjabarkan artkel yang terlalu sederhana ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar