Halaman

Senin, 14 April 2008

Pilkada, Demokratisasi yang Menjerumuskan

Oleh: Dedy Rahmat

GERAKAN REFORMASI yang mulai bergulir sejak 1998 lalu, telah membawa sebuah paradigma baru bagi masyarakat, dengan jargon yang begitu mengemuka; “demokratisasi” di segala bidang. Tentu saja jargon ini tidak muncul begitu saja, melainkan melalui bermacam proses, dimulai dari pecahnya belengu anti-kritik kepada pemerintah, dengan maraknya demonstrasi yang menuntut bermacam hal. Lalu berlanjut isu penuntasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), hingga tuntutan mundur dari masyarakat terhadap pemimpin yang sarat KKN. Demokratisasi juga berjalan seiring derasnya arus informasi yang ikut membentuk opini publik.

Lalu di tingkat politik-pemerintahan, muncul undang-undang baru; UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (atau lebih dikenal UU Otonomi Daerah) yang lalu disempurnakan melalui UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini sebagai pengganti dari UU No. 5/1974 yang dinilai terlampau sentralistik, sehingga membelengu potensi daerah untuk berkembang. UU No.32/2004 membawa “angin baru” dalam demokratisasi. Di mana daerah lebih otonom dalam menjalankan pemerintahan. Demikian pula dengan lembaga legislatif di masing-masing daerah secara otomatis lebih berdaya dibandingkan pada masa Orde Baru.

UU No. 32/2004 juga membuka paradigma baru mengenai munculnya partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pemilihan umum. Terutama dalam kaitan pemilihan kepala daerah secara langsung. Artinya, peran penunjukkan oleh pemrintah pusat dan keterlibatan dewan perwakilan rakyat dalam menentukan posisi kepala daerah pupus sudah.

Namun, terkait pemilihan kepala daerah secara langsung, sesungguhnya menyisakan pertanyaan besar bagi kita terkait demokratisasi. Di mana, jika kita merujuk pada Pancasila sebagai pada landasan ideologi, pada sila ke-4 UUD 1945 ditegaskan tentang “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, dalam permusyawaratan perwakilan”. Dengan demikian, peran lembaga legislatif telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa kita sebagai sebuah sistem dalam menentukan jabatan strategis. Baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dengan demikian, sekalipun Pancasila bukanlah undang-undang, tetapi seharusnya kita konsisten kepada pedoman yang digariskan dalam landasan ideologi tersebut. Dan jika kita cermati, Pancasila bukanlah sesuatu yang “haram”. Artinya, kita seharusnya memaklumi bahwa Pancasila memang menaungi garis-garis besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pernyatan ini mungkin bisa jadi bersifat retorika bagi kita. Namun, itu semua justru kembali pada diri kita masing-masing; sejauhmana kita menempatkan Pancasila dalam menentukan sikap atau kebijakan, sekedar jargon atau memang bagian dari cara bertindak?

Lalu terkait perubahan pada UUD 1945 yang mengaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu pasangan yang dipilih secara langsung, tampaknya masih merupakan hal wajar dalam demokrasi di Indonesia. Namun, jika ini terjadi hingga ke tataran eksekutif di tingkat daerah (provinsi, kabupaten, dan kota/sesuai amanat dalam perubahan UUD 1945), maka terdapat pertanyaan yang sangat mendasar. Itu tadi, sampai sejauhmana kita menempatkan Pancasila dalam konteks ini?

Sementara jika kita runut dalam berbagai pengalaman pilkada di Indonesia (untuk provinsi, kota, dan kabupaten), banyak meninggalkan konflik. Baik konflik kepentingan maupun fisik. Masyarakat kita disibukkan oleh konsentrasi “pilkadanisasi”. Sehingga pilkada bukan saja memakan anggaran yang besar, tetapi juga meninggalkan konflik besar-besaran, yang secara langsung juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan menghambat laju ekonomi.

Kita ambil contoh dalam pilkada Kota Gorontalo belum lama ini, beribu masyarakat turun ke jalan, bahkan datang dari berbagai pelosok, sehingga ikut mematikan kehidupan kota. Baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Rusuh massa membuat kerugian materil yang sangat tinggi, ketuka toko-toko dijarah, dibakar, dll. Keadaan sama juga terjadi di Maluku, Papua, Ambon, dll.

Pemilihan umum di tingkat daerah, atau yang lebih dikenal dengan pilkada (dalam tulisan ini, kita kesampingkan pilkada di tingkat kota dan kabupaten. Saya mencoba memfokuskan pada pilkada gubernur dan wakil gubernur saja), jika kita merujuk pada UU Otonomi Daerah, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa asas dekonsentrasi mendominasi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat provinsi yang notabene dipimpin oleh gubenur. Dengan kata lain, gubernur bertugas sebagai penyelenggara kewenangan pusat yang dilimpahkan kepada daerah. Bukan sebaliknya, sebagai pelaksana desentralisasi (penyerahan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri)

Dalam Pasal 37 UU No.32/2004 tentang Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah, ditegaskan bahwa (1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

Berdasarkan rumusan pasal di atas, maka jelaslah sudah bahwa gubernur itu adalah bagian dari pemerintah pusat yang bertanggung jawab kepada presiden. Alur horisontal dalam pertanggungjawaban ini, mengartikan bahwa gubernur dan presiden itu terstruktur dalam suatu wadah. Lalu dalam pasal 38 UU No. 32/2004 ditegaskan:

(1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 memiliki tugas dan wewenang: a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b. koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN. (2) Kedudukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (3) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Benang merah dari pasal-pasal di atas, adalah posisi gubernur semakin jelas sebagai penyelenggara asas dekonsentrasi. Jadi, ketika gubenur dipilih secara langsung, sementara ia adalah wakil pemerintah pusat yang bertanggung jawa kepada presiden, maka dalam tataran teknis kondisinya sangat rancu. Bagaimana jadinya jika posisi gubernur yang dipilih berdasarkan pemilihan secara langsung ternyata merupakan tokoh partai yang notabene merupakan lawan politik seorang presiden (oposan)?

Kencenderungan konflik kepentingan antara gubenur dengan presiden akan tinggi dalam konteks ini. Bisa jadi gubernur yang dipilih langsung itu membawa agenda partai sebagai oposan yang bertugas menjatuhkan presiden dan berbagai kepentingan lainnya yang bersifat politis, misalnya penempatan jabatan-jabatan strategis dalam politik dan pemerintahan. Sementara sejatinya gubernur harus sinkron dengan presiden karena merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan (sinergi), apalagi jika dikaitkan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Satu hal yang juga perlu digarisbawahi di balik demokratisasi yang mengemuka dalam era reformasi saat ini (salah satu contohnya melalui pilkada), bukan tidak mungkin jargon demokratisasi dan pilkada itu sesungguhnya merupakan produk sistematis negara-negara “penguasa dunia” untuk terus menekan bangsa kita melalui bermacam cara. Setelah pada 1997 kita terkena “penyakit” inflasi/krisis moneter sebagai buah dari kebijakan ekonomi yang dirumuskan bersama dengan lembaga donor dunia, maka kita dibuai dengan “obat” demokratisasi yang sesunguhnya menjerumuskan juga.

Sehingga, bermacam konflik akan bermunculan, yang pada akhirnya hanya akan membuat negara kita tertekan, baik secara ekonomi, ideologi, serta dalam asepek hukum dan keamanan. Dan ketika bangsa kita tertekan di segala bidang, berdasarkan pengalaman dari Orde Baru (sampai saat ini pun terus berlangsung), maka kita akan selalu menjadi negara yang bergantung kepada negara-negara penguasa, yang secara tidak langsung akan turut memperlemah nasionalisme kita.

Secara psikologis, ketika kita dalam posisi lemah di segala bidang, yang kita bisa lakukan hanya menuruti kemauan negara-negara penguasa (terutama negara-negara pendonor), yang semuanya itu bermuara pada masalah ideologi. Nah, berdasarkan uraian ini, menurut anda apakah “demokratisasi” itu sesuatu yang sakral atau semu?

Tidak ada komentar:

Peta Visitor