Halaman

Senin, 04 Agustus 2008

BLT Racun untuk Rakyat Indonesia!

Oleh: Dedy Rahmat

KEBIJAKAN Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang akan segera diluncurkan pemerintah menyikapi keputusan naiknya harga BBM dalam negeri, menuai gelombang protes dari berbagai lapisan masyarakat. BLT yang juga pernah dilakukan sebelumnya di era Pemerintahan SBY-Kalla ini, dinilai tidak efektif. Banyak kalangan menganggap pembagian uang Rp100.000,- secara cuma-cuma kepada rakyat miskin itu, tidak menyentuh substansi yang sesungguhnya.

Dalam konteks ini, penulis sangat setuju bahwa BLT itu sama sekali bukan solusi, bahkan menjerumuskan! Karena, bantuan seperti itu sudah sangat pasti tidak berimbang dengan beban sehari-hari rakyat miskin kita. Jika kita amati saat ini, ketika kebijakan kenaikan BBM pun belum dimulai, harga sembako bahkan harga-harga barang sekunder sudah naik. Dan keadaan akan semakin parah ketika harga BBM naik. Sementara parameter penerima BLT berdasarkan keputusan pemerintah (pada kebijakan BLT sebelumnya) adalah warga miskin yang memperoleh penghasilan Rp250.000,- per bulan. Betulkah rakyat miskin itu yang berpenghasilan Rp250.000,-?

Penulis sangat tidak yakin jika yang disebut miskin itu dengan penghasilan seperti di atas. Kita bisa maklumi bersama, nilai uang saat ini seperti tidak ada artinya. Jangankan di perkotaan, di pedesaan pun demikian. Pembagian BLT Rp100.000,- bahkan bisa “habis di jalan” ketika masyarakat harus menempuh berkilo-kilo untuk mendapatkannya, belum lagi waktu yang terbuang, antri berjubel-jubel, pingsan dan jatuh sakit akibat antrian panjang, bahkan meninggal dunia seperti pembagian BLT sebelumnya. Ini jelas tidak manusiawi! Warga miskin direndahkan harkat dan martabatnya, bukannya dinaikkan derajatnya!

Sementara data statistik penerima BLT yang sudah terjadi pun banyak meragukan (di samping kriteria kemiskinan versi pemerintah). Kita bisa lihat, yang ngantri itu kok membawa motor, bahkan sambil menenteng handphone sambil sibuk sms dan telepon ke sana-sini. Sekalipun misalnya motor itu pun adalah motor cicilan, bisa kita bayangkan, dengan cicilan Rp300.000,- per bulan saja ia sanggup, jadi tidak mungkin “si miskin” itu berpenghasilan Rp250.000,- per bulan. Ini hanyalah contoh kecil dari ketidaktepatan sasaran BLT. Belum lagi warga penerima yang tidak terdata.

Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi dari kebijakan BLT ini adalah, pemerintah tengah mendidik masyarakat untuk bergantung kepada pemerintah. Jadi depedence theory itu sebenarnya bukan saja teori yang dipraktekan negara-negara penguasa dunia kepada bangsa kita, tapi bangsa kita sendiri ditekan untuk bergantung oleh pemerintah sendiri, parahnya ini bisa jadi budaya! Padahal, kita maklumi bersama bahwa teori ini diciptakan untuk membuat masyarakat menjadi terbelakang, lambat untuk maju, sehingga ideologi apa pun akan mudah masuk, baik dalam kaitan ekonomi, sosial-budaya, atau pun politik. Jadi, pemerintah saat ini tengah memberikan “obat penawar sakit bukan penyembuh luka”.

Untuk itu, revisi kebijakan subsidi BBM adalah solusi yang sangat adil. Dan perlu pula ditinjau ulang klausul-klausul mengenai kebijakan Privatisasi Pertamina. BBM itu adalah jantungnya perekonomian nasional, dan ekonomi kita memang masih berbasis subsidi. Bisa dikatakan untuk sementara ini, untuk menjamin stabilitas sosial-ekonomi masyarakat itu memang masih harus melalui subsidi. Dalam konteks ini, subsidi bukan dalam rangka menciptakan ketergantungan, karena subsidi seperti ini lebih menyeluruh dan tidak dirasakan secara langsung dan sangat wajar jika merujuk pada Pasal 33 UUD 1945. Jika keadaan ekonomi telah pulih, subsidi BBM dihapus 100 persen pun tidak ada masalah.

Bukankah UUD 45 menjamin bahwa sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak itu dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat? Bukankah memprivatisasi pertamina itu memaksakan diri menjadi negara kapitalis, bukankah kita bukan negara kapitalis? Jadi, perlu kembali penulis tekankan kepada pemerintah; KEMBALIKAN SUBSIDI BBM! STOP BLT-STOP MENCIPTAKAN KETERGANTUNGAN! STOP KABINET DAN DPR YANG TIDAK KREDIBEL!

Tidak ada komentar:

Peta Visitor