Halaman

Senin, 04 Agustus 2008

Saat Saya Bertemu Presiden

Oleh: Dedy Rahmat

Kesempatan emas, jangan pernah dibuang”. Demikian kira-kira sebuah kalimat yang pas untuk mengungkapkan isi hati ketika bertemu dengan orang nomor 1 di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kesempatan bagus ini, tanpa sengaja saya dapatkan ketika mendampingi beberapa tokoh dari sejumlah Dirjen Departemen Politik Hukum dan Keamanan (Depolhukam), usai melakukan audiensi untuk melaksanakan sebuah tugas penelitian mengenai peta konflik di beberapa daerah rawan Nusantara, beberapa saat menjelang pertengahan 2008 (sebagai informasi; selain sebagai akademisi, saya aktif dalam sebuah lembaga penelitian sosial-politik di Bandung). Kesempatan langka ini saya gunakan untuk mengritik habis kebijakan-kebijakan pemerintah.

PAK SUMARNO, demikian ia akrab disapa, seorang tokoh yang telah berkecimpung di Depolhukam (salah seorang orang kepercayaan Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Kabinet) sejak Presiden SBY masih menjadi pentolan di sana sebagai menteri, dialah orang yang berjasa mempertemukan saya dengan Presiden SBY dan beberapa anggota kabinet serta orang-orang kepercayaan presiden lainnya. Saya bertemu dengan Presiden SBY dkk, saat jamuan makan malam di istana kepresidenan. Dalam rangka menyambut beberapa tamu negara dari perwakilan bidang hubungan perdagangan bilateral ASEAN.

Pertemuan ini tentu saja tidak mungkin terwujud kalau hanya saya yang diajak Pak Sumarno. Karena, saya toh hanyalah seorang “prajurit” dalam tim lembaga penelitian yang notabene banyak diisi oleh para dosen senior asal sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Kota Bandung. Jadi, bisa dikatakan, ketika itu saya kebawa keren karena menjadi staf para pakar sosial-politik yang notabene sebagai senior dalam lembaga penelitian tempat saya bekerja.

Usai makan malam dan melepas tamu negara untuk kembali ke hotel, mengenakan baju batik warna coklat, Presiden SBY, menghampiri dan mengajak Pak Sumarno yang duduk satu meja dengan kami untuk bergabung di sebuah ruangan tamu kepresidenan.

“Ayo Pak Sumarno, kita ke ruang tamu sebentar, ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan,” ajak Presiden SBY kepada Pak Sumarno. Pak Fadil atau akrab disapa dengan “Prof.” (ia adalah seorang Profesor Ilmu Sosial-Politik, ketua tim kami), tampak tidak mau “GR” (gede rasa) atas ajakan Presiden SBY yang seolah mengajak kami semua yang duduk satu meja. “Silahkan Pak Sumarno, biar kita lanjutkan obrolan kita besok,” cetus Pak Fadil, sambil membungkukan kepala dan senyum tanda hormat kepada Sang Simbol Negara RI itu.

Pak Presiden (demikian SBY akrab disapa oleh para sahabatnya), langsung memotong pembicaraan. ”Maksud saya, saya mengundang bapak-bapak semua untuk mengobrol sebentar, mari pak,” kata SBY. Tentu saja saya kaget ketika mendengar ajakan itu. Karena, saya pikir kami itu hanyalah “tim kecil” dari berbagai lapisan pejabat negara yang hadir kala itu. Sambil saling berpandangan penuh keheranan, kami pun bergegas menuju ruangan tamu.

Saat berjalan ke ruang tamu, dalam hati saya berkata, ternyata Pak Presiden adalah orang yang low profile. Untuk mengajak kami berbincang-bincang, ia bahkan tidak perlu menugaskan puluhan ajudan yang selalu setia mendampingi mantan tokoh militer itu. Ia justru datang sendiri ke meja kami. Padahal, jarak antara ruang tamu dengan ruang jamuan itu cukup jauh (maklum istana kepresidenan itu luas areanya hingga 1000 meter per segi). Sebelumnya, saya menyangka bahwa segala hal menyangkut presiden itu sangat protokoler.

Setibanya di ruang tamu, tampak Wakil Presiden Jusuf Kalla, Juru Bicara (Jubir) Kepresidenen Andi Malarangeng, Menko Ekonomi Budiono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menkopohukam, dan Kapolri Jendral Sutanto telah menunggu kedatangan kami. Alih-alih ternyata Pak Presiden diingatkan oleh Pak Hatta Rajasa yang juga kenal baik dengan Prof. Fadil (mereka sama-sama “Maung Bandung”), bahwa di salah satu meja jamuan ada beberapa pengamat sosial-politik asal Bandung, yang sering mengadakan penelitian masalah sosial-politik dan konflik di beberapa wilayah Nusantara.

Sementara Pak Presiden sendiri kenal sangat baik Pak Sumarno yang asal Depolhukam itu. Jadi pertemuan kami dengan presiden dan para pejabat negara itu, ternyata memang sengaja dilakukan untuk membahas masalah konflik di Indonesia. Usai beramah tamah, Pak Presiden langsung membuka obrolan tentang konflik di beberapa daerah saat pemrintah berencana dan akhirnya melakukan kebijakan kenaikan harga BBM.

Dalam obrolannya, presiden banyak menyoroti masalah kenaikan harga minyak mentah dunia yang mengakibatkan naiknya harga BBM dalam negeri, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rakyat miskin sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, hingga ke kasus bentrok antara mahasiswa Universitas Nasional (Unas) Jakarta dengan aparat kepolisian ketika protes menentang kenaikan BBM sampai pada puncaknya, yang mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan mahasiswa dan masyarakat.

Sesekali, Bung Andi (demikian Andi Malarangeng, sang jubir kepresidenan) tampak menimpali tiap pernyataan presiden dengan sangat antusias. Dengan penuh ekspresi Bung Andi terlihat begitu loyal terhadap segala aspirasi yang keluar dari presiden.

Katakanlah, kalau boleh saya contohkan, jika presiden mengatakan kebijakan kenaikan BBM itu sudah tepat, maka Bung Andi akan mengatakan “ya, sangat tepat”, kalau presiden mengatakan demo massa itu anarkis, maka Bung Andi akan mengatakan “ya betul, sangat anarkis dan tidak intelek sama sekali”, kalau presiden mengatakakan “masyarakat belum memahami permasalahan yang dihadapi negara, maka Bung Andi akan mengatakan, “sangat tepat, masyarakat kita masih belum paham akar permasalahannya,”…. dll. Bung Andi bagaikan anggota “kelompok penyanyi”. Yang jika penyanyi lain mengatakan “sudub-subidub”…. maka ia akan katakan “pam-pam-pam”…

Sambil memperhatikan ucapan Pak Presiden dan Bung Andi, dalam hati saya teringat janji-janji politik SBY saat kampanye calon presiden tahun 2004 lalu yang menegaskan komitmen kepada rakyat bahwa dalam kepemimpinannya BBM tidak akan naik. Saya juga teringat, betapa Bung Andi, sebelum terjun ke dunia politik sebagai praktisi, ia adalah tokoh vokal yang banyak mengkritisi kebijakan pemerintah kala itu, terutama yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat, termasuk kebijakan menaikkan BBM (dulu saya mengangap Bung Andi adalah pengamat politik yang sangat berani dan sangat kritis. Bahkan kritikannya tak jarang cukup “pedas” untuk pemerintah. Sementara dalam pertemuan ini, saya semakin yakin bahwa saya sedang berhadapan dengan orang inkonsisten. Yang tidak teguh dalam pendirian dan sikap).

Mulanya, saya perhatikan Prof. Fadil dkk agak sedikit canggung untuk mengeluarkan pendapat-pendapatnya (padahal, yang saya tahu, Prof. Fadil dkk itu jagonya bicara dan kaya akan perbendaharaan informasi, pengalaman, dan teori-teori). Sesekali ia hanya menimpali dengan pernyataan kontra kebijakan pemerintah (soal kenaikan BBM) dengan “sehalus-halusnya” dan sangat irit mengeluarkan aspirasinya, “seperti malu-malu kucing” (padahal kucing saja sebenarnya tidak tahu malu. Bahkan cenderung memalukan).

Bung Andi sendiri, mungkin sadar betul kalau keadaan Prof. Fadil dkk ketika itu memang demikian. Sehingga, ia tampak semakin gencar menambahkan tiap opini yang keluar dari presiden untuk memotong atau mengalihkan sikap kontra Prof. Fadil (layaknya cara pemerintah dalam mengalihkan dan menguasai opini publik terhadap suatu substansi masalah yang dihilangkan esensinya). Padahal, sebelumnya, kami memang pernah melakukan diskusi kecil soal kenaikan BBM, dan kami sepakat bahka kenaikan BBM itu adalah salah total! Namun, lama-kelamaan Prof. Fadil pun nampak “gerah” juga.

Ia seperti “kebelet” dan akhirnya ”meluncurkan produknya dengan sangat cepat” untuk mengemukakan sikap kontra sekaligus solusi untuk mengembalikan harga BBM ke posisi semula dengan sejumlah kebijakan komprehensif yang mendukungnya. Hingga keadaan justru berbalik, Prof. Fadil seperti dosen yang tengah memberikan kuliah kepada para mahasiswa. Ia akhirnya membalikan keadaan. Presiden SBY “and the gank” malah jadi pendengar setia. Sesekali mangut-mangut walaupun tampak kecewa karena aspirasinya ternyata tidak mendapat dukungan dari Prof. Fadil yang mewakili kami. Malah Prof. Fadil lama-kelamaan makin “garang dan “taringnya” mulai diperlihatkan sedikit demi sedikit.

“Saya kira keputusan menaikkan BBM dengan alasan kenaikan harga minyak mentah dunia itu tidak relevan dengan kenyataan. Sementara kebijakan BLT juga adalah sebuah upaya menciptakan solusi yang justru menimbulkan masalah lainnya. Jadi, maaf saya kira kebijakan-kebijakan ini adalah kekeliruan,” ujar Prof. Fadil dengan berapi-api.

Melihat situasi yang mulai terbuka, tim kami lainnya mulai unjuk bicara. Maka tak jarang terjadi debat terbuka antara Prof Fadil dkk vs Presiden SBY dkk. Masing-masing tampak tak mau kalah adu argumen. Saya sendiri, sebagai tim yang paling muda, hanya bisa mendengarkan debat yang makin seru ini. Meskipun, dalam benak saya “ada sejuta ide” yang ingin saya tumpahkan kepada pemerintah. Dengan jantung yang sedikit “dag, dig, dug” saya menunggu momen tepat untuk ikut nimbrung. “Aduh, tadi mestinya saya ngomong…”, demikian perasaan hati, tiap saya merasa kehilangan kesempatan bicara saat situasi sebenarnya sangat memungkinkan.

Dengan sangat memaksakan diri, berat rasanya, “bagaikan memikul 5 ton dosa”, akhirnya datang juga! Seiring debar jantung yang makin dahsyat (maklum ini pertama kalinya saya bicara dengan RI 1), sementara emosi untuk bicara makin tak tertahan, maka saya pun jadi “latah” untuk sama “galaknya” dengan Prof. Fadil “and the gank”. Saya pun berkata, “Pak Presiden, dengan segala hormat, saya juga punya pendapat.” Kalimat ini saya ucapkan dengan mengatur intonasi sebaik mungkin agar tidak kelihatan grogi (ja’im; jaga imej).

“Silahkan,” kata Pak Presiden (ucapan RI 1 itu menyenangkan hati sekaligus memuat gelisah, bagaikan akan ‘ditabrak kapal terbang’). “Sesungguhnya saya ingat betul janji-janji politik yang pernah bapak ucapkan ketika dulu mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 2004. Bapak Presiden mengatakan, kepada rakyat. Baik dalam kampanye massa atau di media telvisi. Bahwa, jika Bapak terpilih maka tidak akan ada kenaikkan BBM,” kata saya (plong, ucapan ini ternyata bisa saya munculkan dengan sangan mulus).

Dalam hati, saya mulai merasakan kepercayaan diri untuk berbicara. Apalagi melihat situasi Pak Presiden dkk yang sedikit mulai “terpojok”, namun tetap konsen dan menghormati tiap aspirasi yang kami cetuskan. “Kata-kata memegang amanah itu saat ini sudah seperti klise pak. Seolah itu bukan hal penting lagi sekarang. Padahal amanah itu dibawa sampai ke akhirat. Sementara berargumen atas segala hal menyangkut pembelaan atas inkonsistensi atas amanah itu adalah upaya sia-sia, yang hanya menambah beban keburukan. Bapak hanya menang di dunia. Bagaimana dengan akhirat nanti?” kata saya.

“Coba Bapak bayangkan. 250 Juta lebih penduduk Indonesia adalah saksi dari inkonsistensi amanah yang pernah Bapak lontarkan. Lalu sekarang dicederai melalui kebijakan kenaikan BBM, Privatisasi Pertamina, dll. Ke-250 juta penduduk itu adalah saksi sekaligus korban dari penyelewengan amanah itu sendiri. Mereka sekarang merasakan akibatnya, merekalah yang menanggung beban,” lanjut saya.

Kepada presiden dan sejumlah pejabat negara itu, saya juga mengatakan, bahwa anggota kabinet juga ternyata banyak diisi oleh orang yang tidak kompeten. Contohnya menteri keuangan yang selalu berpatokan pada neraca untuk memutuskan kebijakan keuangan (seperti soal harga minyak mentah dunia dihubungkan dengan kenaikan BBM dalam negeri). Tanpa mempertimbangkan dampak sosial.

“Memangnya rakyat itu adalah sejumlah angka yang hanya bisa diukur secara matematis? Lalu bagaimana caranya pemerintah bisa mengklaim bahwa kenaikan BBM dalam negeri itu sebagai akibat dari kenaikan harga minyak mentah dunia? Apa hubungannya dengan kita? Bukankah kita ini pengekspor minyak?” protes saya semakin gencar.

“Saya meragukan alasan-alasan pemerintah soal kenaikan BBM. Saya kira kita harus maklumi bersama bahwa pemerintah itu malu untuk mengatakan bahwa pemerintah ‘mati kutu’ atas pemaksaan negara-negara kapitalis untuk melakukan investasi di bidang BBM di Indonesia. Mungkin pemerintah saat ini mati kutu sekaligus tergiur untuk melakukan privatisasi publik dengan iming-iming prosentase yang cukup besar dari calon perusahaan dunia yang akan bercokol di Indonesia. Prosentase ini tentu hanya akan menguntungkan bagi segelintir elit dan kelompok berkepentingan, bukan bagi rakyat!” pernyataan ini saya lontarkan berapi-api.

Tanpa disangka, ternyata ucapan demi ucapan yang saya lontarkan makin meluncur dengan aman dan terkendali. Anehnya, “Pak Presiden dkk, kok mau-maunya mendengarkan ucapan saya? Saya ini kan hanya prajurit Pak?” tanya saya dalam hati. Melihat “medan operasi” yang makin “mendukung”. Akhirnya kata-kata yang makin pedas keluar dari mulut saya.

“Pak Presiden, tampaknya anda telah gagal dalam mengemban amanah rakyat. Kebanyakan kabinet anda tidak diisi oleh orang-orang yang kredibel. Bahkan juru bicara kepresidenan yang anda miliki ternyata bukan seorang pejuang tangguh. Maka, saya anjurkan agar pada Pemilu 2009 anda tidak perlu mencalonkan diri lagi. Demikian pula dengan sejumlah anggota kabinet yang merasa gagal, harus tahu malu. Kembalilah ke posisi masing-masing, sesuai dengan spesialisasi bidang pekerjaan dan kemampuan. Jangan memaksakan diri. Karena, ada sebuah ‘nilai hukum spiritual’ tertinggi yang meyatakan bahwa; tunggulah kehancurannya, jika suatu kaum dipimpin oleh orang yang bukan bidangnya” …

Presiden dkk makin diam, ketika aksi “obral kata-kata” membuat saya semakin “gila”. Dan dengan lantang, saya lupa diri kalau saya itu bukanlah siapa-siapa dalam pertemuan itu. Dengan begitu “PD-nya” (percaya diri) saya katakan kepada presiden, “Pak Presiden, maaf, setelah mengevaluasi kinerja Bapak selama ini, besok Bapak tidak perlu berkantor lagi di istana. Besok saya akan mencari presiden baru yang akan mengantikan posisi Bapak.” Saya pun lalu menyuruh beberapa ajudan presiden untuk mengemasi barang-barang pribadi milik Presiden SBY yang masih ada di istana. Betapa berani dan tidak tahu dirinya saya ketika itu.

Pertemuan ini pun berakhir ketika tanpa disangka, mantan pacarku tiba-tiba hadir di istana kepresidenan. Bahkan, dia lebih “gila” di antara kami. Istriku dengan “gagah berani” menampar pipi saya, karena menyangka saya kesurupan. Karena dalam mimpi aneh ini, di-ending strory, saya tertawa terbahak-bahak (secara nyata pun demikian meski mata tetap merem). Karena, sadar bahwa saya telah memecat orang yang tidak mungkin saya pecat, sekaligus malu karena salah ngomong dan bertindak sok “ngebos” di bagian akhir …

Kisah ini adalah sebuah karya fiksi penulis. Nama dan tokoh dalam kisah ini tidak 100 persen benar, kecuali menyangkut bidang pekerjaan penulis. Kisah fiksi ini sesungguhnya adalah sebuah uneg-uneg penulis kepada pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang dianggap mencederai amanat rakyat. Dan yang terpenting, penulis ingin mengajak pembaca tulisan ini untuk berdiskusi. Baik berisi kritik maupun dukungan atas aspirasi penulis. Atau jika seandainya anda yang ada dalam pertemuan itu, maka apa yang akan anda katakan kepada presiden? …

1 komentar:

stues mengatakan...

ya, kan Om.. 'hanas' saya baca pelan-pelaaan.. dari atas kebawah,
buset dah kena kerjain tuh

Peta Visitor